Apa yang harus dilakukan seorang staf pelayanan? Jelas, melayani pelanggan. Apa yang harus dilakukan seorang manajer? Sudah barang tentu memimpin tim mencapai sasaran unit kerjanya. Seorang customer service assistant (CSA) di sebuah department store tahu apa yang harus dilakukannya. Ia harus melayani pelanggan dengan baik. Caranya, di antaranya, menyapa pelanggan dengan ramah, menanyakan apa kebutuhannya, dan membantu mencarikan barang yang mereka perlukan. Jika pelanggan sudah mendapatkan barang yang diperlukan, selesailah tugas sang CSA. Namun, jika pelanggan tidak mendapatkan barang yang dia inginkan, sang CSA dapat dikatakan tidak melaksanakan tugas yang tercantum dalam job description-nya.
Begitu pula dengan seorang manajer. Ia tahu apa yang harus dilakukan karena job description untuk dirinya terinci dengan jelas. Seorang manajer keuangan tahu apa yang harus dilakukannya, dan apa batasannya, karena tersedia job description untuk dirinya. Jika sang manajer menunaikan tugasnya dengan baik, dapat dikatakan ia telah menjalankan apa yang tercantum dalam job description. Sebaliknya, jika ia gagal menunaikan tugasnya, itu karena dia tidak menjalankan apa yang tertera dalam job description.
Beberapa tahun lalu, saya pernah membimbing sekelompok mahasiswa melakukan sebuah penelitian di delapan kota. Penelitian berkaitan dengan job description. Responden dari berbagai organisasi dikelompokkan ke dalam tiga kategori: swasta, BUMN, dan perusahaan multinasional.
Setelah menerima jawaban responden dari tiga jenis organisasi tadi, hasilnya kemudian diproses. Salah satu temuan dari penelitian tersebut adalah umumnya responden menyatakan mereka mempunyai job description. Temuan itu juga menyatakan cukup banyak penilaian para karyawan yang acap kali tidak didasarkan pada job description. Bersamaan dengan temuan itu juga diperoleh temuan lain, yakni penilaian juga sering dikenakan pada tugas-tugas yang sebenarnya malah berada di luar job description.
Mengapa banyak perusahaan punya job description, tetapi kenyataannya malah tidak memakainya? Mengapa sering kali penilaian justru diberikan atas tugas-tugas yang di luar job description? Apa yang salah?
Mungkin pertanyaannya bisa diubah begini. Mengapa job description tidak berjalan? Mengapa ada job description, tetapi tingkat keberhasilan pekerjaan orang yang mengembannya rendah? Jawabannya adalah karena penekanan job description lebih banyak pada “tugas”, pada “apa yang harus dikerjakan”. Banyak perusahaan yang memiliki job description bagi para manajer dan stafnya. Akan tetapi, banyak terjadi ketidakselarasan antara apa yang tertulis dan apa yang terjadi.
Sebuah job description memuat banyak butir atau unsur di dalamnya, mulai dari judul, tanggal, unit kerja, hingga tugas utama dan lingkup tanggung jawab. Bahkan juga ditambahkan unsur persyaratan pendidikan dan struktur organisasi di mana job description yang bersangkutan terletak. Lalu, mengapa hal-hal yang tercantum di dalam job description malah tidak terjadi? Maka, dapatlah disimpulkan bahwa di sini ada missing link. Ada bagian yang hilang yang membuat akuntabilitas tidak berjalan.
Seharusnya ada linkage atau ”cantelan” yang akan mengikat apa yang dikerjakan (job to be done) dengan target yang diharapkan perusahaan akan diraih pemangku jabatan yang bersangkutan. Misalnya, mengapa seorang manajer penjualan gagal meraih omzet Rp50 miliar? Selain dari faktor eksternal, mestinya yang diperiksa adalah apakah ia melaksanakan tanggung jawabnya.
Ukuran keberhasilan seorang pemangku jabatan dalam menjalankan tanggung jawabnya disebut Key Performance Indicators (KPI). KPI setiap pemangku jabatan (job incumbent) adalah derivasi dari KPI unit kerja yang bersangkutan. Unit kerja itu bisa disebut unit saja, seksi, atau bagian. Selanjutnya, KPI unit kerja itu adalah derivasi dari KPI unit kerja yang menaunginya, misalnya divisi. KPI divisi adalah derivasi dari KPI perusahaan.
Dengan derivasi seperti itu, apa yang dicapai seorang pemangku jabatan akan memastikan tercapainya sasaran unit kerjanya. Tercapainya sasaran unit kerja akan memastikan tercapainya sasaran divisinya. Akhirnya, pencapaian sasaran divisi akan memastikan tercapainya sasaran perusahaan.
KPI seorang CSA sebuah department store bisa seperti ini: ”Meningkatkan upaya cross-selling melalui peningkatan rata-rata belanja per pelanggan dari Rp190.000 ke Rp250.000 dalam paro pertama tahun 2008.” Dalam hal ini, pencapaian CSA akan memastikan tercapainya sasaran unit kerjanya (misalnya, Men’s Fashion Section). Pencapaian sasaran Men’s Fashion Section akan memastikan tercapainya sasaran divisi yang menaunginya (misalnya, divisi merchandise). Pada gilirannya, pencapaian sasaran divisi merchandise akan memastikan pencapaian sasaran perusahaan.
Uraian tugas dan tanggung jawab yang memuat KPI disebut sebagai Distinct Job Profile (DJP). Tak cuma KPI yang membuatnya sebagai DJP. Kata “distinct” itu sendiri menunjukkan keunikan atau kekhasan. Kata tersebut menunjukkan bahwa KPI dalam sebuah DJP tidak akan terulang di KPI dalam DJP yang lain. Misalnya, seorang manajer penjualan bertanggung jawab atas tercapainya penjualan senilai Rp50 miliar selama tahun 2008 untuk wilayahnya dengan 10 petugas penjualan di bawahnya. Angka penjualan ini bisa dipecah ke dalam KPI anak buahnya, sementara KPI-nya sendiri menekankan pada faktor-faktor yang membantu tercapainya penjualan anak buahnya.
Jadi, KPI sang manajer penjualan bukan semata-mata dari hasil keringat sepuluh anak buahnya dalam mencapai penjualan masing-masing. Lebih dari pencapaian angka penjualan yang memang diharapkan dicapai timnya, KPI dirinya adalah khas tentang tanggung jawab bagaimana target penjualan masing-masing petugas penjualan bawahannya dapat tercapai.
DJP, dengan kandungan KPI-nya yang khas (= distinct), secara langsung akan memastikan pemangku jabatan akan selalu diingatkan pada tanggung jawabnya, pada akuntabilitasnya. Selain itu, DJP juga memberi ruang gerak lebih luas.
Sebagai penutup, saya kutip tentang perbedaan cara pandang dua macam pemimpin. Pemimpin yang biasa-biasa saja akan punya pandangan seperti ini: “Sepanjang para anggota tim saya punya job description, mereka akan baik-baik saja.” Akan tetapi, pemimpin yang hebat punya pandangan demikian: “Jika ada visi yang jelas dan menggugah, maka orang-orang akan berkarya secara sukarela dan sepenuh hati serta sehebat yang mereka bisa lakukan."
Begitu pula dengan seorang manajer. Ia tahu apa yang harus dilakukan karena job description untuk dirinya terinci dengan jelas. Seorang manajer keuangan tahu apa yang harus dilakukannya, dan apa batasannya, karena tersedia job description untuk dirinya. Jika sang manajer menunaikan tugasnya dengan baik, dapat dikatakan ia telah menjalankan apa yang tercantum dalam job description. Sebaliknya, jika ia gagal menunaikan tugasnya, itu karena dia tidak menjalankan apa yang tertera dalam job description.
Beberapa tahun lalu, saya pernah membimbing sekelompok mahasiswa melakukan sebuah penelitian di delapan kota. Penelitian berkaitan dengan job description. Responden dari berbagai organisasi dikelompokkan ke dalam tiga kategori: swasta, BUMN, dan perusahaan multinasional.
Setelah menerima jawaban responden dari tiga jenis organisasi tadi, hasilnya kemudian diproses. Salah satu temuan dari penelitian tersebut adalah umumnya responden menyatakan mereka mempunyai job description. Temuan itu juga menyatakan cukup banyak penilaian para karyawan yang acap kali tidak didasarkan pada job description. Bersamaan dengan temuan itu juga diperoleh temuan lain, yakni penilaian juga sering dikenakan pada tugas-tugas yang sebenarnya malah berada di luar job description.
Mengapa banyak perusahaan punya job description, tetapi kenyataannya malah tidak memakainya? Mengapa sering kali penilaian justru diberikan atas tugas-tugas yang di luar job description? Apa yang salah?
Mungkin pertanyaannya bisa diubah begini. Mengapa job description tidak berjalan? Mengapa ada job description, tetapi tingkat keberhasilan pekerjaan orang yang mengembannya rendah? Jawabannya adalah karena penekanan job description lebih banyak pada “tugas”, pada “apa yang harus dikerjakan”. Banyak perusahaan yang memiliki job description bagi para manajer dan stafnya. Akan tetapi, banyak terjadi ketidakselarasan antara apa yang tertulis dan apa yang terjadi.
Sebuah job description memuat banyak butir atau unsur di dalamnya, mulai dari judul, tanggal, unit kerja, hingga tugas utama dan lingkup tanggung jawab. Bahkan juga ditambahkan unsur persyaratan pendidikan dan struktur organisasi di mana job description yang bersangkutan terletak. Lalu, mengapa hal-hal yang tercantum di dalam job description malah tidak terjadi? Maka, dapatlah disimpulkan bahwa di sini ada missing link. Ada bagian yang hilang yang membuat akuntabilitas tidak berjalan.
Seharusnya ada linkage atau ”cantelan” yang akan mengikat apa yang dikerjakan (job to be done) dengan target yang diharapkan perusahaan akan diraih pemangku jabatan yang bersangkutan. Misalnya, mengapa seorang manajer penjualan gagal meraih omzet Rp50 miliar? Selain dari faktor eksternal, mestinya yang diperiksa adalah apakah ia melaksanakan tanggung jawabnya.
Ukuran keberhasilan seorang pemangku jabatan dalam menjalankan tanggung jawabnya disebut Key Performance Indicators (KPI). KPI setiap pemangku jabatan (job incumbent) adalah derivasi dari KPI unit kerja yang bersangkutan. Unit kerja itu bisa disebut unit saja, seksi, atau bagian. Selanjutnya, KPI unit kerja itu adalah derivasi dari KPI unit kerja yang menaunginya, misalnya divisi. KPI divisi adalah derivasi dari KPI perusahaan.
Dengan derivasi seperti itu, apa yang dicapai seorang pemangku jabatan akan memastikan tercapainya sasaran unit kerjanya. Tercapainya sasaran unit kerja akan memastikan tercapainya sasaran divisinya. Akhirnya, pencapaian sasaran divisi akan memastikan tercapainya sasaran perusahaan.
KPI seorang CSA sebuah department store bisa seperti ini: ”Meningkatkan upaya cross-selling melalui peningkatan rata-rata belanja per pelanggan dari Rp190.000 ke Rp250.000 dalam paro pertama tahun 2008.” Dalam hal ini, pencapaian CSA akan memastikan tercapainya sasaran unit kerjanya (misalnya, Men’s Fashion Section). Pencapaian sasaran Men’s Fashion Section akan memastikan tercapainya sasaran divisi yang menaunginya (misalnya, divisi merchandise). Pada gilirannya, pencapaian sasaran divisi merchandise akan memastikan pencapaian sasaran perusahaan.
Uraian tugas dan tanggung jawab yang memuat KPI disebut sebagai Distinct Job Profile (DJP). Tak cuma KPI yang membuatnya sebagai DJP. Kata “distinct” itu sendiri menunjukkan keunikan atau kekhasan. Kata tersebut menunjukkan bahwa KPI dalam sebuah DJP tidak akan terulang di KPI dalam DJP yang lain. Misalnya, seorang manajer penjualan bertanggung jawab atas tercapainya penjualan senilai Rp50 miliar selama tahun 2008 untuk wilayahnya dengan 10 petugas penjualan di bawahnya. Angka penjualan ini bisa dipecah ke dalam KPI anak buahnya, sementara KPI-nya sendiri menekankan pada faktor-faktor yang membantu tercapainya penjualan anak buahnya.
Jadi, KPI sang manajer penjualan bukan semata-mata dari hasil keringat sepuluh anak buahnya dalam mencapai penjualan masing-masing. Lebih dari pencapaian angka penjualan yang memang diharapkan dicapai timnya, KPI dirinya adalah khas tentang tanggung jawab bagaimana target penjualan masing-masing petugas penjualan bawahannya dapat tercapai.
DJP, dengan kandungan KPI-nya yang khas (= distinct), secara langsung akan memastikan pemangku jabatan akan selalu diingatkan pada tanggung jawabnya, pada akuntabilitasnya. Selain itu, DJP juga memberi ruang gerak lebih luas.
Sebagai penutup, saya kutip tentang perbedaan cara pandang dua macam pemimpin. Pemimpin yang biasa-biasa saja akan punya pandangan seperti ini: “Sepanjang para anggota tim saya punya job description, mereka akan baik-baik saja.” Akan tetapi, pemimpin yang hebat punya pandangan demikian: “Jika ada visi yang jelas dan menggugah, maka orang-orang akan berkarya secara sukarela dan sepenuh hati serta sehebat yang mereka bisa lakukan."
Alex Denni
Human Capital & Execution Expert
Head of Consulting Group-Partner Dunamis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar