Kamis, 30 Juli 2009

By Order atau By Design?

Sisi Lain Performance Management System:


Bagaimana mengukur efektivitas suatu organisasi? Ada beberapa macam model pengukuran. Salah satunya adalah jika seluruh jajaran perusahaan telah mencapai target masing-masing dan rata-rata karyawan memiliki kinerja yang baik.


Guna mengukur pencapaian kinerja masing-masing karyawan, Performance Management System (PMS) adalah sebuah sistem yang dapat dimanfaatkan. PMS bertujuan memastikan apakah seluruh jajaran perusahaan telah menyelesaikan dan mengeksekusi tugas-tugasnya dengan baik dan benar. Dengan kata lain, PMS memastikan kinerja karyawan mencapai standar dan tujuan yang ditetapkan perusahaan.


Eksekusi tugas tentu saja dijalankan sesuai prosedur yang baku, sesuai kebijakan perusahaan, dan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Istilah “kinerja” sering kali diganti dengan “performance”. Jika seseorang berkinerja baik, itu sering diungkapkan dengan kata “perform”. Kapankah seorang karyawan dikatakan perform? Apakah ukuran perform itu adalah jika karyawan selalu melakukan pekerjaan by order ataukah jika ia selalu melakukannya by system?


Dalam terminologi PMS, by order artinya karyawan mengerjakan pekerjaan yang diminta oleh atasan, kondisi di mana perubahan dari acuan yang disepakati semula sering kali terjadi. Kondisi yang dimaksud adalah adanya perubahan tugas dan prioritas pekerjaan, strategi perusahaan yang mendadak berubah dan pekerjaan-pekerjaan “dadakan” lainnya. Adapun by design berarti setiap pekerjaan dilakukan karyawan sesuai dengan rencana yang ditetapkan di awal tahun fiskal, sesuai dengan alokasi dana, waktu, dan sumber daya yang tersedia. Artinya, semua pekerjaan telah ditentukan dan terukur tahapan-tahapannya, realistis, dan bisa diprediksi hasilnya.

Katakanlah, karyawan A, yang tipikal sebagai seorang profesional yang berkomitmen tinggi dan taat sistem. A hanya mengerjakan pekerjaan yang sesuai dengan performance plan yang ditetapkan pada awal tahun fiskal. Namun, pada perjalanan waktu, terjadi perubahan tim kerja, serta rekanan dan atasan satu divisi memerlukan bantuannya. Reaksi A adalah tidak akan membantu rekanannya dalam meringankan beban divisinya, karena komitmen A hanyalah mengerjakan apa yang telah tertera pada performance contract.


Akan tetapi, pada kenyataannya, dinamika dalam suatu organisasi tidak memungkinkan terjadinya kekakuan sikap. Maksudnya, tidak mungkin seseorang melakukan pekerjaan by design atau sesuai performance plan yang telah disepakati pada awal tahun tanpa memperhatikan perkembangan situasi yang menuntut keluwesan.

Pada kondisi ini, seseorang akan melakukan kompromi. Seseorang yang melakukan pekerjaan by design 100% secara kasatmata adalah seorang yang mencoba profesional, yang berdiri sendiri. Namun, ia kaku. Dalam jangka panjang, ia akan menghadapi tantangan dari lingkungannya, yaitu dari teman-teman sendiri atau bahkan dari atasan. Seseorang yang mengerjakan pekerjaan by design bisa menyelesaikan tepat pada waktunya. Namun, ia tidak memiliki value added secara sosial.

Di sisi lain, B adalah seorang karyawan yang tipikal sebagai karyawan yang sosial. B dengan senang hati mengerjakan hal-hal yang diperintahkan atasannya atau yang diminta rekan-rekannya. Bagi sebagian orang, B adalah seorang eksekutor atau pelaksana. Akibatnya, dalam jangka panjang, B tidak akan mencapai apa-apa karena pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan B tidak tercantum dalam targetnya. Risiko yang dihadapi oleh B adalah kurangnya “pengakuan profesional” dari rekan-rekannya dalam jangka panjang.


Dari dua ilustrasi tersebut, kita tidak dapat memungkiri bahwa orang-orang semacam A dan B ini ada dan hidup di dalam organisasi, dan tentu saja pelakunya memiliki kecenderungan tertentu dalam mengerjakan hal di atas. Lalu, bagaimana Human Capital Management System (HCMS) menilai orang-orang seperti ini?

HCMS, melalui PMS, menetapkan batas-batas jenis tugas/pekerjaan yang boleh dikerjakannya, dan hal ini sangat tergantung pada kebutuhan organisasi. Pada umumnya, jenis pekerjaan itu terdiri dari tiga bagian, yakni: (1) pekerjaan yang dilakukan oleh individual itu sendiri; (2) pekerjaan yang dilakukan bersama tim; dan (3) pekerjaan yang didedikasikan bersama tim yang untuk kemajuan organisasi.


Dilihat dari sudut prioritas, pekerjaan dapat digolongkan ke dalam tiga hal: Tugas Utama, Tugas Tambahan, dan Critical Incident. Selain prioritas, hal-hal lain yang menjadi pertimbangan dalam performance plan adalah (1) kompetensi yang dimiliki karyawan dan akan ditingkatkan karyawan serta (2) tingkat komitmen karyawan terhadap nilai perusahaan dan skor lain (yang berbentuk indeks) yang dinilai secara periodik. Masing-masing komponen penilaian ini memiliki proporsi/bobot tersendiri dan hal ini tergantung pada strategi dan model organisasinya. Proporsi inilah yang kemudian dijadikan “kontrol” kapan seseorang boleh melanjutkan atau segera menghentikan pekerjaannya yang sedang berjalan. Ini terkait dengan penilaian performance mereka.


Pada akhir tahun fiskal didapat perhitungan pencapaian targetnya. Seperti menghitung sebuah portofolio, kinerja pencapaian karyawan secara keseluruhan dilihat berdasarkan pencapaian kuantitasnya, lalu pencapaian kualitasnya yang dinilai berdasarkan key performance indicators (KPI) masing-masing tugas dan dibobotkan sesuai dengan proporsi pekerjaan.


Portofolio ini merupakan performance index, sebagaimana halnya nilai rapor, yang ditujukan untuk menentukan apakah pemangku jabatan yang bersangkutan memiliki prestasi rata-rata, di atas rata-rata, atau merupakan masalah bagi perusahaan. Ini dapat menjadi bahan pertimbangan manajemen perusahaan apakah karyawan tersebut dapat dipromosikan, dimutasikan, atau bahkan, jika perlu, diakhiri masa kerjanya.

Pada akhirnya, penegakan PMS di suatu perusahaan tetaplah merupakan suatu proses eksekusi individu atas prioritas pekerjaan-pekerjaan, di tengah situasi tarik- menarik pekerjaan by design dan pekerjaan by order. Adalah tugas setiap manajer untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas jajarannya melalui penegakan PMS, yang tentunya akan memberikan kontribusi maksimal bagi perusahaan sekaligus situasi win-win bagi individu dan organisasi.




Alex Denni

Human Capital & Execution Expert

Head of Consulting Group-Partner Dunamis

Tidak ada komentar: