Jumat, 07 Agustus 2009

Definisikan ”Aset Manusia” di Perusahaan

Akhir-akhir ini kian banyak perusahaan yang mengganti label fungsi human resource management-nya dengan human capital management. Namun, sayangnya, belum banyak yang memahami secara utuh perubahan paradigma di balik penggantian label tersebut, sehingga urusannya berhenti pada perubahan kartu nama semata. Padahal, dengan berubahnya paradigma, cara-cara kita melakukan sesuatu juga akan berubah. Dan, hanya dengan cara-cara yang berbeda inilah kita boleh mengharapkan hasil yang juga berbeda dengan sebelumnya.


Pada waktu bicara tentang human resource, paradigma kita menempatkan manusia (human) sebagai resources. Kata ”resources” biasanya mengandung makna ”sesuatu” yang digunakan atau dikonsumsi dalam sebuah proses produksi. Biasanya resources menyusut jumlahnya karena dipakai dalam proses. Oleh karena itu, dalam pendekatan human resource management, penekanannya adalah kepada minimalisasi resources yang digunakan untuk menghasilkan sesuatu (output). Maka, tak heran kalau dalam laporan keuangan ditempatkan chart of account untuk segala sesuatu yang berkaitan dengan people sebagai “biaya” yang muncul di laporan rugi/laba.


Sementara itu, terminologi “ capital” pada human capital management menggiring paradigma kita pada kenyataan bahwa manusia adalah aset (sebagian pakar lebih senang menyebutnya “modal”). Tujuan dari semua perusahaan tentu meningkatkan nilai asetnya (atau modalnya) dan melaporkan perkembangannya dalam neraca perusahaan.


Bagaimana cara kita mendefinisikan aset manusia yang bersifat sangat intangible? Apakah dilihat dari berat badannya—jadi, kalau karyawannya gemuk-gemuk berarti perusahaan maju? Atau dari jumlah rambut putihnya—kalau perusahaan memiliki karyawan yang tua-tua (baca: senior), aset Anda lebih tinggi nilainya dibanding kompetitor yang karyawannya relatif muda-muda? Tentu tidak.


Hampir semua pakar bidang ini sependapat yang pantas disebut aset dari manusia yang bekerja di perusahaan adalah kompetensinya, baik yang bersifat skill (keterampilan), knowledge (pengetahuan), dan behavior (perilaku). Kompetensi di sini tentu saja yang relevan dengan kebutuhan organisasi untuk menghasilkan kinerja yang direncanakan. Artinya, pekerjaan rumah para praktisi human capital adalah mendefinisikan kompetensi yang relevan ini, mengklasifikasikannya seperti halnya mendefinisikan chart of account dalam proses akuntansi.


Spencer & Spencer menyebut kompetensi yang bersifat skill dan knowledge sebagai threshold competency, yaitu kompetensi minimum yang dibutuhkan seseorang untuk bisa menjalankan tugas dan tanggung jawabnya secara efektif. Beberapa perusahaan menyebut threshold competency dengan istilah technical competency atau hard competency. Sementara itu, kompetensi yang sifatnya behavior, oleh Spencer disebut differentiating competency, yaitu kompetensi yang membedakan seorang pemangku jabatan yang kinerjanya superior dengan pemangku jabatan yang kinerjanya rata-rata. Istilah lain untuk kompetensi ini adalah nontechnical competency atau soft competency.


Kalau kita perhatikan kompetensi yang sifatnya skill dan knowledge relatif nilainya menetap, bahkan cenderung naik pada diri seseorang. Sebab, skill dan knowledge di sini adalah yang job related. Artinya, digunakan sehari-hari oleh yang bersangkutan dalam pekerjaannya. Biasanya skill dan knowledge yang digunakan nilainya akan bertambah, karena yang bersangkutan akan kian fasih menggunakannya. Lihat saja skill seorang anak dalam bersepeda, yang setiap hari makin tinggi kalau dia senang bermain sepeda. Skill hanya akan turun apabila tidak digunakan lagi atau terjadi physical damage, seperti stroke. Begitu pula dengan knowledge. Selama knowledge digunakan, nilainya akan bertambah. Knowledge hanya akan berkurang apabila orang tersebut mulai tidak menggunakannya lagi, atau terjadi brain damage atau gangguan mental lainnya.


Lain halnya dengan behavior atau perilaku. Kalau ada seorang karyawan suatu hari merasa malas datang ke kantor, pada hari itu perilakunya akan sangat terpengaruh. Kemalasan tadi bisa ditunjukkan dengan terlambat datang ke kantor, atau meski sudah datang sejak pagi, tetapi baca koran dulu, browsing internet dulu, chatting dulu, dan sebagainya. Bahkan tugas yang seharusnya selesai dalam waktu satu jam, bisa-bisa sampai sore belum juga tuntas. Ini bukan karena skill atau knowledge-nya berkurang, melainkan karena perilakunya yang sedang tidak ”positif”.

Mencermati konteks permasalahan ini, dapat disimpulkan bahwa aset berupa perilaku ternyata lebih rentan menyusut ketimbang skill dan knowledge. Maka, tidak heran kalau banyak perusahaan lebih memfokuskan perhatiannya kepada perilaku karyawan ketimbang skill atau knowledge-nya. Ini juga didukung oleh pemikiran bahwa kalau perilaku karyawan positif, maka proses peningkatan skill dan knowledge akan terjadi dengan sendirinya.


Ketiga karakter kompetensi ini—skill, knowledge, behavior—dalam human capital management dikodefikasi terlebih dahulu sebelum dievaluasi nilainya. Hasil dari proses kodefikasi ini biasanya disebut Competency Dictionary (Kamus Kompetensi), atau ada juga yang menyebutnya Competency Directory. Competency Directory biasanya menjelaskan apa yang dimaksud dengan kompetensi tertentu (definisi kompetensi) dan apa indikator dari dimilikinya kompetensi tersebut oleh seseorang. Jika diperlukan, indikator kompetensi ini dapat dikelompokkan dalam tingkatan-tingkatan yang disebut Competency Level. Setelah perusahaan memiliki Competency Directory, baru dilakukan competency valuation, yakni proses menentukan nilai relatif dari masing-masing kompetensi di perusahaan yang bersangkutan. Hasil akhir dari proses competency valuation adalah Point Value Matrix untuk setiap kompetensi dan level-nya. Komentar yang sering terdengar sehubungan dengan hal ini adalah, “Repot amat ya fungsi human capital, harus mengerjakan banyak hal untuk mendapatkan nilai dari setiap kompetensi yang dimiliki oleh suatu perusahaan.” Jawabannya barangkali harus dikembalikan ke paradigmanya. Kalau kita mau mendata jumlah aset fisik perusahaan, seperti mobil, komputer, sampai ATK, kita harus membuat daftarnya terlebih dahulu, mengapa terhadap aset paling penting bagi perusahaan—manusia—kita enggan melakukannya? Jangan-jangan ATK memang dianggap lebih penting daripada kompetensi manusia. Bagaimana dengan perusahaan Anda? Sudahkah perusahaan Anda mendefinisikan aset manusianya? Semoga.




Alex Denni
Human Capital & Execution Expert
Head of Consulting Group-Associate Partner Dunamis

Tidak ada komentar: