Rabu, 22 April 2009

Falsafah “Reward” : Job Value vs Person Value

Reward adalah soal yang menarik untuk dibahas. Ini adalah soal atau issue yang tidak ada habis-habisnya diperbincangkan dalam hubungan industrial. Apalagi ketika kondisi perekonomian sedang berat akibat kenaikan harga BBM, yang kemudian diikuti dengan kenaikan harga-harga barang dan jasa lainnya. Hal ini mengakibatkan menurunnya daya beli kebanyakan masyarakat, dan bahkan meningkatkan potensi pengangguran.

Bagi perusahaan, kondisi seperti ini berdampak buruk. Apalagi bagi para individu di dalam perusahaan tersebut. Bagi sebagian perusahaan, meningkatnya biaya operasional yang drastis mengakibatkan mereka memilih melakukan efisiensi untuk jangka pendek. Pada kondisi perusahaan yang sudah memburuk, mereka bahkan mulai memikirkan upaya-upaya, seperti restrukturisasi, reengineering, atau merger-akuisisi.

Adapun bagi individu, kondisi ini makin mencekik. Saat situasi ekonomi memberatkan mereka, tuntutan kerja tetap tinggi. Bahkan tidak jarang hal itu disertai dengan jam kerja yang lebih panjang.

Dalam kondisi lingkungan bisnis yang terpengaruh oleh situasi kenaikan harga BBM, perusahaan pun terkena dampaknya, baik langsung maupun tidak langsung. Biaya operasional perusahaan jadi meningkat. Margin laba pun, mau tidak mau, pasti terpengaruh atau menurun. Sementara bagi individu, hal yang paling memukul mereka adalah dari segi pendapatan, termasuk soal kesejahteraan atau reward.

Reward vs Kinerja Karyawan

Reward (khususnya yang bernilai uang) yang diberikan oleh perusahaan adalah salah satu daya tarik bagi karyawan untuk bertahan bekerja di suatu perusahaan. Reward seperti ini bukan yang utama, tetapi penting diperhatikan. Ada ungkapan yang memperkuat korelasi antara reward dan kinerja: ”You pay peanut, you’ll get monkey.” Ini menjadi kaidah dasar bagi manajemen perusahaan agar gaji karyawan dengan tuntutan pekerjaan, serta output yang diharapkan, semestinya sepadan.

Berbagai macam sistem reward ditujukan untuk meningkatkan kinerja karyawan, meningkatkan kedisiplinan pegawai hingga akhirnya menjadi sebentuk “budaya”. Para atasan, manajer, atau siapa pun yang mengelola kinerja anak buahnya, mereka sangat menginginkan adanya “kesukarelaan” dalam bekerja.

Tingkat kesukarelaan anak buah bekerja ada beberapa macam. Ada sukarela yang hanya sekadar patuh alias willing compliance. Kesukarelaan pada tingkat ini adalah kesiapan mental untuk mengikuti segala aturan yang ada di perusahaan.

Pada tingkat yang lebih tinggi adalah siap bekerja sama dengan rekan pekerja lain, atau disebut cheerful cooperation. Tingkat berikutnya yang lebih tinggi lagi adalah kesukarelaan dalam wujud komitmen yang dilakukan dengan sepenuh hati, atau heartfelt commitment.

Tingkat kesukarelaan tertinggi yang relatif tersulit dikerjakan adalah creative excitement, yaitu gairah bekerja yang tidak saja sukarela dan penuh komitmen, tetapi juga disertai kreativitas.

Menyadari adanya tingkat-tingkat kesukarelaan seperti itu, maka adalah wajar jika manajemen perusahaan memikirkan beragam insentif. Contoh-contoh reward, seperti upah lembur, bonus kinerja, tunjangan hari raya, tunjangan kesehatan, tunjangan perjalanan, dan tunjangan-tunjangan lainnya, merupakan bagian dari paket untuk mengikat ”kesukarelaan” karyawan dalam bekerja.

Person Value vs Job Value

Topik reward yang hangat, kontroversial, tetapi tetap menarik untuk dibahas adalah berkenaan dengan person value dan job value. Person value adalah manakala manajemen memberikan poin lebih kepada orang yang akan direkrut. Sebagai ilustrasi, di dunia olahraga sepak bola, pemilik klub biasa melakukan “jual beli” pemain.

Para pemain punya karakteristik memiliki mobilitas yang tinggi, yakni mampu berpindah dari satu klub ke klub lainnya dan bahkan lintas negara, pekerjaan mereka terspesialisasi, pendidikan serta persyaratan dan pengalaman menjadi pemain sepak bola sudah terstandar. Jadi, tidak mungkin para pemilik klub sepak bola bisa ”salah memilih” pemain, karena portofolio dan performa para pemain sudah teruji sebelumnya, di tempat para pemain sepak bola itu merumput.

Peran statistik sepak bola juga tidak boleh dilupakan. Statistik mencatat berapa kesalahan atau pelanggaran yang dilakukan oleh pemain (terkait dengan kartu kuning atau kartu merah yang pernah diterimanya), berapa jumlah gol yang dicetak selama musim kompetisi, dan bahkan berapa pertandingan yang diikuti pemain berikut kondisi fisik pemain yang bersangkutan selama satu tahun. Semua hal tersebut telah dikalkulasikan secara rinci, yang dapat diketahui oleh seluruh publik penggemar sepak bola.

Berbeda dengan person value, untuk job value, manajemen menitikberatkan poin yang lebih tinggi pada nilai jabatan seseorang yang ditunjukkan dengan ”posisi” yang disandang oleh pemangku jabatan di perusahaan saat ini. Pekerjaan pemangku jabatan di sini sangat spesifik. Ia bisa jadi terkait dengan informasi atau rahasia perusahaan, jumlah pemangku jabatan yang lebih sedikit, sehingga kemungkinan perpindahan karyawan ini menjadi tidak seluwes jika dibandingkan dengan perpindahan pemain sepak bola.

Persamaan dari kedua pendekatan tersebut adalah semangat retention atau mempertahankan pemain/karyawan yang berada di klub/perusahaan, kompetisi, serta hukum permintaan dan penawaran pasar.

Alhasil, jika pada suatu ketika manajemen dengan origin tertentu ingin menerapkan poin yang lebih banyak kepada salah satu value tanpa melihat kondisi, asumsi, serta origin yang menggarisbawahi perusahaan, bisa jadi implementasi tersebut akan menjadi salah kaprah, salah arah, dan bahkan menyebabkan karyawan mengalami demotivasi.

Untuk person value, manajemen memberikan insentif reward yang luar biasa besar kepada pemain yang berprestasi. Ini dengan harapan agar pemain tersebut dapat mempertahankan kinerja bermainnya, serta mempertahankan pemain karena pasar berkompetisi untuk merekrut pemain yang berprestasi. Adapun untuk job value, dengan volatilitas dan mobilitas pekerja yang tidak begitu besar, maka insentif yang diberikan cenderung konvensional, sesuai dengan peraturan perusahaan, peraturan tenaga kerja, dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Untuk sistem reward yang menggunakan job value, dan perusahaan tidak serta merta menerapkan sistem konvensional yang tidak berbeda jauh dengan perusahaan lainnya, maka daya tariknya adalah dengan meningkatkan komponen gaji variabel, selain komponen gaji pokok. Misalnya, tunjangan komunikasi, tunjangan kendaraan, tunjangan laptop, tunjangan olahraga, dan tunjangan-tunjangan yang menarik lainnya, sesuai dengan poin jabatan dan kebutuhan karyawan. Dengan cara itu, ungkapan ”You pay peanut, you’ll get monkey” diharapkan tidak akan terjadi lagi di perusahaan.

Alex Denni
Human Capital & Execution Expert
Head of Consulting Group-Associate Partner Dunamis

Tidak ada komentar: