Rabu, 22 April 2009

Ketika Nyanyian Tak Lagi Seirama

Kepemimpinan ibarat seorang konduktor dalam permainan sebuah orkestra. Konduktor mesti memastikan baris-baris melodi berikut harmonisasi alat musik dimainkan secara sempurna oleh setiap pemain, sesuai dengan peran masing-masing di dalam orkestra. Konduktor memberikan aba-aba kepada para pemain orkestra melalui gerakan-gerakannya yang khas, sehingga karya klasik komponis-komponis ternama dimainkan secara sempurna.

Namun, apa yang terjadi jika terdapat kesalahan, seperti nada sumbang sang pemain solo, kesalahan pemain simbal membunyikan alat musiknya, ataupun harmoni yang tidak sedap terdengar di tengah-tengah orkestra? Siapa yang akan disalahkan dan siapa yang bertanggung jawab atas ”kesalahan-kesalahan” tersebut? Jawabannya, tentu yang salah adalah sang pemimpin orkestra. Kesalahan sekecil apa pun tidak dapat ditolerir, karena pada saat itu performa dan citra tim orkestra tengah diperdengarkan dan dipertaruhkan di depan publik.

Cerita tentang konduktor orkestra tadi adalah ilustrasi untuk membahas isu-isu tentang kepemimpinan. Namun, sejatinya, untuk mencari penyebab pasti mengapa sampai terjadi ketidakharmonisan ”di dunia nyata” antara pemimpin dan anak buah pada kenyataannya memang tidak semudah kasus dalam sebuah orkestra.

Ketika Drama Berakhir

Ada banyak sekali kejadian yang ”menggelikan” di dalam organisasi kalau pemimpin tidak mengerti atau tidak peka terhadap ”kebutuhan asasi” orang-orang dalam seluruh jajarannya. Atau, jika pemimpin memercayakan segala urusan dan keputusan terkait people management kepada wakilnya atau bahkan kepada orang kepercayaannya. Sering kali pada akhir cerita sang pemimpin akhirnya bertanya mengenai sebab musabab kegagalan implementasi suatu program: ”Mengapa teman-teman tidak buy in terhadap program ini? Mengapa kalian baru mengatakannya sekarang? Mengapa kalian tidak mau terbuka?” Kemudian, jawaban dari anak buah tidak kalah tragisnya di mata sang pemimpin: ”Bapak tidak pernah memberikan kesempatan kepada kami untuk membahas program ini. Mengapa Bapak baru bertanya kepada kami sekarang?” atau ”Bapak terlalu memaksakan diri dengan program semacam itu.”


Ini adalah pertunjukan drama tragis ”real time” di tengah korporasi yang memakan biaya besar, dan sedari awal sudah menggambarkan betapa tidak seiramanya suara antara pemimpin dan jajarannya. Bayangkan jika drama ini dibumbui dengan ”subjektivitas pemimpin” yang cenderung memercayai laporan orang kepercayaannya, atau membedakan seorang terhadap orang-orang lainnya. Drama tersebut akan bertambah seru dan penuh lika-liku bak film India.

Terjadinya subjektivitas pemimpin mengindikasikan komunikasi yang kurang baik atau bahkan secara ekstrem terdapat ketidakpercayaan antara pemimpin dan jajarannya. Artinya, pemimpin menyerahkan pendapat kedua atau second opinion kepada orang yang kurang tepat, dalam artian orang tersebut tidak pada level untuk menilai kinerja, kapasitas, atau bahkan pribadi seseorang.

Lalu, apa akibat dari komunikasi bertingkat tersebut bagi perusahaan? Dalam jangka panjang, nilai-nilai open feedback, fair play, kompetisi yang sehat, inovasi, dan bahkan proaktivitas menjadi makin terkikis, karena adanya kaki-tangan perantara yang menyampaikan informasi yang seharusnya tersistematis di dalam sebuah sistem.

Drama ini seharusnya segera diakhiri begitu diketahui gejalanya, di mana sebenarnya terdapat banyak mekanisme yang mengukur seberapa besar harmonisasi antara pemimpin dan jajarannya. Berbagai mekanisme HR yang dimaksud untuk mengukur, memprediksi, dan menilai tingkat harmonisasi pemimpin dengan jajarannya di dalam suatu organisasi adalah: performance appraisal, value measurement system, 360 degree assessment, employee satisfaction survey, employee award, employee counseling, kotak surat, dan perangkat-perangkat objektif lainnya.

”See – Do – Get” Effect Pemimpin

Pemimpin yang subjektif adalah pemimpin yang tidak lulus uji intuisi dan uji konsistensi. Tujuan utama pemimpin macam ini adalah mementingkan power serta ”penguatan citra” dirinya. Pemimpin seperti itu, dalam rangka mewujudkan tujuannya, memilih berpolemik, memberikan janji-janji dan target yang tidak masuk akal kepada para pemegang saham, hingga memanfaatkan anak buahnya untuk tujuan-tujuan tertentu.

Di sisi personal, status quo kepemimpinan menguat karena berhasil mendepak ”para penyanyi sumbang” yang menginginkan perubahan. Di tataran organisasi, terjadilah ”kerugian besar perusahaan” sebagai akibat hilangnya ide kreatif dan inovasi karyawan, dan bahkan eksodus orang-orang pintar untuk mencari perusahaan yang lebih baik dan sehat guna mencurahkan ide-ide dan perubahan.

Lalu, apa hasil yang didapat sang pemimpin? Anak buah yang semula kreatif dan inovatif cenderung menjadi submisif, masa bodoh, dan bahkan tidak mempertanggungjawabkan pekerjaannya terhadap pemimpin dominan tersebut. Dan, yang sangat disayangkan adalah pemimpin tidak lagi mendapatkan umpan balik yang ditunggu-tunggu untuk perbaikan kinerja unitnya. Intinya, sikap business as usual-nya malah merugikan perusahaan.

Di sisi lain, pemimpin yang objektif menggunakan intuisi, nyali, dan konsistensi kepemimpinan secara berimbang. Pemimpin yang menginginkan harmoni yang berimbang dengan jajarannya akan selalu mengomunikasikan harapan-harapan terkait kinerja unit kepada jajarannya melalui cara yang tersistematis, yakni: performance appraisal; lalu secara periodik pemimpin akan menilai secara keseluruhan apakah nilai-nilai korporasi tetap kukuh dipegang melalui value measurement system. Untuk mengukur efektivitas atau kekuatan tim di dalam suatu unit/korporasi, digunakan 360 degree assessment, sehingga kelemahan dan kekuatan tim dapat dipetakan. Lalu, secara spesifik dan periodik, perusahaan menilai tingkat kepuasan karyawan melakukan employee satisfaction survey, mulai dari karyawan di kantor pusat hingga karyawan di lapangan. Dan, ada banyak lagi implementasi yang disesuaikan dengan size organisasi dan event/ritual organisasi dalam menciptakan hubungan harmonis dengan karyawannya, seperti: employee award, employee counseling, kotak surat, dan program lainnya.

Apa hasil yang akan diperoleh? Hasilnya, di antaranya, anak buah menjadi partisipatif, bersemangat, kreatif, inovatif, dan berkembang seiring dengan bertumbuhnya kepemimpinan sang pemimpin serta berkembangnya organisasi.

Dua Pembelajaran

Sebagai penutup, terdapat dua pembelajaran penting dalam artikel singkat ini. Pertama, pemimpin yang senantiasa menggunakan intuisi, nyali, dan konsistensi kepemimpinan secara berimbang akan senantiasa mendapatkan masukan yang objektif yang sesuai harapan, meskipun hal itu jauh dari ekspektasi sang pemimpin. Kedua, suara-suara sumbang dari para penyanyi sumbang yang terdengar di dalam organisasi sebenarnya bukanlah ancaman atau kemunduran bagi pemimpin dan kepemimpinan di dalam organisasi. Suara-suara tersebut adalah representasi dari keberagaman, kekayaan, dan kebijakan hidup yang khas dan dimiliki oleh jajarannya.




Alex Denni
Human Capital & Execution Expert
Head of Consulting Group-Partner Dunamis

Tidak ada komentar: