Rabu, 22 April 2009

Distinct Job Profile

Apa yang harus dilakukan seorang staf pelayanan? Jelas, melayani pelanggan. Apa yang harus dilakukan seorang manajer? Sudah barang tentu memimpin tim mencapai sasaran unit kerjanya. Seorang customer service assistant (CSA) di sebuah department store tahu apa yang harus dilakukannya. Ia harus melayani pelanggan dengan baik. Caranya, di antaranya, menyapa pelanggan dengan ramah, menanyakan apa kebutuhannya, dan membantu mencarikan barang yang mereka perlukan. Jika pelanggan sudah mendapatkan barang yang diperlukan, selesailah tugas sang CSA. Namun, jika pelanggan tidak mendapatkan barang yang dia inginkan, sang CSA dapat dikatakan tidak melaksanakan tugas yang tercantum dalam job description-nya.

Begitu pula dengan seorang manajer. Ia tahu apa yang harus dilakukan karena job description untuk dirinya terinci dengan jelas. Seorang manajer keuangan tahu apa yang harus dilakukannya, dan apa batasannya, karena tersedia job description untuk dirinya. Jika sang manajer menunaikan tugasnya dengan baik, dapat dikatakan ia telah menjalankan apa yang tercantum dalam job description. Sebaliknya, jika ia gagal menunaikan tugasnya, itu karena dia tidak menjalankan apa yang tertera dalam job description.

Beberapa tahun lalu, saya pernah membimbing sekelompok mahasiswa melakukan sebuah penelitian di delapan kota. Penelitian berkaitan dengan job description. Responden dari berbagai organisasi dikelompokkan ke dalam tiga kategori: swasta, BUMN, dan perusahaan multinasional.

Setelah menerima jawaban responden dari tiga jenis organisasi tadi, hasilnya kemudian diproses. Salah satu temuan dari penelitian tersebut adalah umumnya responden menyatakan mereka mempunyai job description. Temuan itu juga menyatakan cukup banyak penilaian para karyawan yang acap kali tidak didasarkan pada job description. Bersamaan dengan temuan itu juga diperoleh temuan lain, yakni penilaian juga sering dikenakan pada tugas-tugas yang sebenarnya malah berada di luar job description.

Mengapa banyak perusahaan punya job description, tetapi kenyataannya malah tidak memakainya? Mengapa sering kali penilaian justru diberikan atas tugas-tugas yang di luar job description? Apa yang salah?

Mungkin pertanyaannya bisa diubah begini. Mengapa job description tidak berjalan? Mengapa ada job description, tetapi tingkat keberhasilan pekerjaan orang yang mengembannya rendah? Jawabannya adalah karena penekanan job description lebih banyak pada “tugas”, pada “apa yang harus dikerjakan”. Banyak perusahaan yang memiliki job description bagi para manajer dan stafnya. Akan tetapi, banyak terjadi ketidakselarasan antara apa yang tertulis dan apa yang terjadi.

Sebuah job description memuat banyak butir atau unsur di dalamnya, mulai dari judul, tanggal, unit kerja, hingga tugas utama dan lingkup tanggung jawab. Bahkan juga ditambahkan unsur persyaratan pendidikan dan struktur organisasi di mana job description yang bersangkutan terletak. Lalu, mengapa hal-hal yang tercantum di dalam job description malah tidak terjadi? Maka, dapatlah disimpulkan bahwa di sini ada missing link. Ada bagian yang hilang yang membuat akuntabilitas tidak berjalan.

Seharusnya ada linkage atau ”cantelan” yang akan mengikat apa yang dikerjakan (job to be done) dengan target yang diharapkan perusahaan akan diraih pemangku jabatan yang bersangkutan. Misalnya, mengapa seorang manajer penjualan gagal meraih omzet Rp50 miliar? Selain dari faktor eksternal, mestinya yang diperiksa adalah apakah ia melaksanakan tanggung jawabnya.

Ukuran keberhasilan seorang pemangku jabatan dalam menjalankan tanggung jawabnya disebut Key Performance Indicators (KPI). KPI setiap pemangku jabatan (job incumbent) adalah derivasi dari KPI unit kerja yang bersangkutan. Unit kerja itu bisa disebut unit saja, seksi, atau bagian. Selanjutnya, KPI unit kerja itu adalah derivasi dari KPI unit kerja yang menaunginya, misalnya divisi. KPI divisi adalah derivasi dari KPI perusahaan.

Dengan derivasi seperti itu, apa yang dicapai seorang pemangku jabatan akan memastikan tercapainya sasaran unit kerjanya. Tercapainya sasaran unit kerja akan memastikan tercapainya sasaran divisinya. Akhirnya, pencapaian sasaran divisi akan memastikan tercapainya sasaran perusahaan.

KPI seorang CSA sebuah department store bisa seperti ini: ”Meningkatkan upaya cross-selling melalui peningkatan rata-rata belanja per pelanggan dari Rp190.000 ke Rp250.000 dalam paro pertama tahun 2008.” Dalam hal ini, pencapaian CSA akan memastikan tercapainya sasaran unit kerjanya (misalnya, Men’s Fashion Section). Pencapaian sasaran Men’s Fashion Section akan memastikan tercapainya sasaran divisi yang menaunginya (misalnya, divisi merchandise). Pada gilirannya, pencapaian sasaran divisi merchandise akan memastikan pencapaian sasaran perusahaan.

Uraian tugas dan tanggung jawab yang memuat KPI disebut sebagai Distinct Job Profile (DJP). Tak cuma KPI yang membuatnya sebagai DJP. Kata “distinct” itu sendiri menunjukkan keunikan atau kekhasan. Kata tersebut menunjukkan bahwa KPI dalam sebuah DJP tidak akan terulang di KPI dalam DJP yang lain. Misalnya, seorang manajer penjualan bertanggung jawab atas tercapainya penjualan senilai Rp50 miliar selama tahun 2008 untuk wilayahnya dengan 10 petugas penjualan di bawahnya. Angka penjualan ini bisa dipecah ke dalam KPI anak buahnya, sementara KPI-nya sendiri menekankan pada faktor-faktor yang membantu tercapainya penjualan anak buahnya.

Jadi, KPI sang manajer penjualan bukan semata-mata dari hasil keringat sepuluh anak buahnya dalam mencapai penjualan masing-masing. Lebih dari pencapaian angka penjualan yang memang diharapkan dicapai timnya, KPI dirinya adalah khas tentang tanggung jawab bagaimana target penjualan masing-masing petugas penjualan bawahannya dapat tercapai.

DJP, dengan kandungan KPI-nya yang khas (= distinct), secara langsung akan memastikan pemangku jabatan akan selalu diingatkan pada tanggung jawabnya, pada akuntabilitasnya. Selain itu, DJP juga memberi ruang gerak lebih luas.

Sebagai penutup, saya kutip tentang perbedaan cara pandang dua macam pemimpin. Pemimpin yang biasa-biasa saja akan punya pandangan seperti ini: “Sepanjang para anggota tim saya punya job description, mereka akan baik-baik saja.” Akan tetapi, pemimpin yang hebat punya pandangan demikian: “Jika ada visi yang jelas dan menggugah, maka orang-orang akan berkarya secara sukarela dan sepenuh hati serta sehebat yang mereka bisa lakukan."




Alex Denni
Human Capital & Execution Expert
Head of Consulting Group-Partner Dunamis

Execution Quotient

Suatu saat, Oprah Winfrey menuturkan tentang keberhasilannya dalam menurunkan berat badan. Sementara, kala itu banyak orang, terutama kaum hawa, yang ingin menurunkan berat badan, tetapi belum berhasil melakukannya. Kata Oprah, ia berhasil bukan karena lebih tahu dari kebanyakan orang lain menyangkut apa yang harus dilakukan untuk menurunkan berat badan. Sebab, kalau untuk ini, hampir semua orang pasti tahu jawabannya, yaitu menjaga pola makan; komposisi, jumlah, dan jadwalnya; serta melakukan olahraga secara teratur. Apa yang berbeda, menurut Oprah, hanyalah satu hal, yaitu eksekusi! Dia melakukan eksekusi atas apa yang diketahuinya tersebut.

Pengalaman Oprah mirip dengan yang terjadi di dunia bisnis. Pada umumnya perusahaan mengetahui apa yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kinerjanya, tetapi mengapa ada yang berhasil dan ada yang tidak? Padahal, dalam dunia yang hampir tak berbatas saat ini, setiap perusahaan dapat dengan mudah mengetahui dan meniru strategi yang diterapkan perusahaan lain di belahan dunia mana pun. Lalu, di mana letak perbedaan antara suatu perusahaan dan perusahaan lain yang memilih strategi yang sama? Jawabannya adalah pada kemampuan melakukan eksekusi.

Seorang konsultan manajemen, Ram Charan, dalam bukunya, Execution: The Discipline of Getting Things Done, mengatakan, “Execution is the great unaddressed issue in the business world today.” Kesuksesan bisnis sangat tergantung pada kualitas sasarannya. Namun, memiliki sasaran yang jelas baru sebagian dari pemecahan masalah. Sebagian lainnya adalah proses eksekusi dari sasaran tersebut. Charan mengatakan, “Sasaran tidak akan berarti banyak apabila tidak dianggap serius. Kegagalan untuk menindaklanjuti sasaran tersebut sering kita jumpai di dunia bisnis, dan penyebab utamanya adalah proses eksekusi yang buruk.” Banyak pemimpin yang menghadapi masalah pada kesenjangan eksekusi (execution gap), yaitu kesenjangan antara rencana mencapai sasaran dan realisasi pencapaiannya.

John Kotter dari Harvard Business School memverifikasi pola kesuksesan ini dalam penelitiannya terhadap para pemimpin bisnis yang terbukti sangat efektif. Ketika meneliti pekerjaan harian para general manager yang sukses, ia menemukan beberapa persamaan: para manajer tersebut sangat terfokus pada agendanya dengan sasaran utama yang jelas, dan mereka mempertahankan orang-orangnya secara konstan dan mengukur pergerakan pencapaian mereka terhadap sasaran-sasaran itu.

Hal ini kedengarannya mudah dilakukan. Ambil dua atau tiga sasaran yang “sangat penting”, yang sangat merupakan penentu kesuksesan organisasi Anda, dan perintahkan semua orang untuk fokus mengeksekusi sasaran utama tersebut. Namun, prakteknya ternyata tidak mudah. Eksekusi tidak dapat dilakukan secara mudah, sehingga karenanya eksekusi masih menjadi tantangan terbesar di kebanyakan organisasi.
Franklin Covey telah mengidentifikasi prinsip-prinsip penting dalam melakukan eksekusi dan mengembangkan suatu alat untuk mengukur penerapan prinsip-prinsip eksekusi yang disebut Execution Quotient, atau xQ metrik. xQ yang dilakukan di suatu organisasi adalah ukuran seberapa baik pimpinan dan karyawan mengeksekusi sasaran yang telah ditetapkan. xQ juga menjadi leading indicator yang dapat memprediksi kemampuan eksekusi. Oleh karena fungsinya yang demikian, xQ merupakan tolok ukur (metrik) kunci untuk para manajer. Selain berkaitan dengan hal keuangan, xQ merupakan ukuran yang paling penting untuk menjadi perhatian para manajer.

xQ mengukur keselarasan dari tim-tim kerja terhadap sasaran organisasi dengan cara mengukur penerapannya di organisasi melalui enam prinsip dasar:

1. Kejelasan (clarity). Apakah orang-orang dalam organisasi mengetahui sasaran-sasaran kritis organisasi? Apakah mereka memahami sasaran tersebut? Apakah mereka tahu bahwa sasaran tersebut “sangat penting” dan harus lebih diutamakan daripada tujuan yang ”penting”, apalagi dari tujuan yang “cukup penting”?
2. Komitmen (commitment). Apakah orang-orang dalam organisasi mempunyai kewenangan dan memiliki komitmen terhadap sasaran tersebut? Apakah mereka merasa ikut memiliki dan terlibat dalam menentukan sasaran? Apakah mereka dapat menerima realitas dan kelayakan sasaran tersebut?
3. Terjemahan ke dalam tindakan (translation into action). Apakah orang-orang dalam organisasi tahu apa yang harus mereka lakukan untuk mencapai sasaran? Apakah setiap individu memahami perannya dalam mencapai sasaran tersebut? Apakah mereka tahu bagaimana cara mengubah sasaran ke dalam tugas-tugas hariannya?
4. Pemberdayaan (enabling). Apakah organisasi tempat mereka bergabung mendidik dan membekali mereka untuk melakukan eksekusi dengan baik? Apakah organisasi secara aktif membantu mencari dan menyingkirkan rintangan-rintangan yang dapat menghambat proses eksekusi?
5. Sinergi (synergy). Apakah orang-orang dalam organisasi dapat bekerja sama dengan baik satu sama lain dan dengan tim lainnya? Apakah mereka “memberi jalan” satu sama lain? Dapatkah mereka satu sama lain dengan tulus mendiskusikan isu-isu utama? Apakah mereka bisa secara terus-menerus memberi jalan keluar yang baru atau cara yang lebih baik untuk melakukan eksekusi?
6. Tanggung jawab (accountability). Apakah orang-orang secara aktif dan teratur bertanggung jawab satu sama lain atas komitmen yang mereka buat? Dapatkah mereka melaporkan hasil kerja mereka baik yang baik maupun yang buruk secara jujur?

Metrik xQ dihitung dari skala 0 sampai 100, dengan angka 100 mengindikasikan setiap orang benar-benar fokus untuk melaksanakan tujuan organisasi secara cermat. Untuk menghitung xQ di suatu organisasi, dilakukan survei ke sejumlah orang, menanyakan seberapa jauh tingkat usaha mereka untuk melakukan eksekusi.

Di Indonesia, survei xQ telah dilakukan pada belasan perusahaan dan melibatkan lebih dari 1.000 orang responden. Hasil xQ agregat yang kami peroleh adalah 49/100. Hasil ini menunjukkan bahwa perusahaan hanya mendayagunakan separo dari kemampuannya untuk fokus dalam mengeksekusi sasaran-sasaran penting perusahaan. Kalau Anda adalah pemegang saham, dan Anda tahu perusahaan Anda hanya menggunakan setengah dari waktu, bakat, dan sumber daya yang mereka miliki untuk mengeksekusi sasaran penting perusahaan Anda, apa yang akan Anda lakukan?


Alex Denni
Human Capital & Execution Expert
Head of Consulting Group-Partner Dunamis

Falsafah “Reward” : Job Value vs Person Value

Reward adalah soal yang menarik untuk dibahas. Ini adalah soal atau issue yang tidak ada habis-habisnya diperbincangkan dalam hubungan industrial. Apalagi ketika kondisi perekonomian sedang berat akibat kenaikan harga BBM, yang kemudian diikuti dengan kenaikan harga-harga barang dan jasa lainnya. Hal ini mengakibatkan menurunnya daya beli kebanyakan masyarakat, dan bahkan meningkatkan potensi pengangguran.

Bagi perusahaan, kondisi seperti ini berdampak buruk. Apalagi bagi para individu di dalam perusahaan tersebut. Bagi sebagian perusahaan, meningkatnya biaya operasional yang drastis mengakibatkan mereka memilih melakukan efisiensi untuk jangka pendek. Pada kondisi perusahaan yang sudah memburuk, mereka bahkan mulai memikirkan upaya-upaya, seperti restrukturisasi, reengineering, atau merger-akuisisi.

Adapun bagi individu, kondisi ini makin mencekik. Saat situasi ekonomi memberatkan mereka, tuntutan kerja tetap tinggi. Bahkan tidak jarang hal itu disertai dengan jam kerja yang lebih panjang.

Dalam kondisi lingkungan bisnis yang terpengaruh oleh situasi kenaikan harga BBM, perusahaan pun terkena dampaknya, baik langsung maupun tidak langsung. Biaya operasional perusahaan jadi meningkat. Margin laba pun, mau tidak mau, pasti terpengaruh atau menurun. Sementara bagi individu, hal yang paling memukul mereka adalah dari segi pendapatan, termasuk soal kesejahteraan atau reward.

Reward vs Kinerja Karyawan

Reward (khususnya yang bernilai uang) yang diberikan oleh perusahaan adalah salah satu daya tarik bagi karyawan untuk bertahan bekerja di suatu perusahaan. Reward seperti ini bukan yang utama, tetapi penting diperhatikan. Ada ungkapan yang memperkuat korelasi antara reward dan kinerja: ”You pay peanut, you’ll get monkey.” Ini menjadi kaidah dasar bagi manajemen perusahaan agar gaji karyawan dengan tuntutan pekerjaan, serta output yang diharapkan, semestinya sepadan.

Berbagai macam sistem reward ditujukan untuk meningkatkan kinerja karyawan, meningkatkan kedisiplinan pegawai hingga akhirnya menjadi sebentuk “budaya”. Para atasan, manajer, atau siapa pun yang mengelola kinerja anak buahnya, mereka sangat menginginkan adanya “kesukarelaan” dalam bekerja.

Tingkat kesukarelaan anak buah bekerja ada beberapa macam. Ada sukarela yang hanya sekadar patuh alias willing compliance. Kesukarelaan pada tingkat ini adalah kesiapan mental untuk mengikuti segala aturan yang ada di perusahaan.

Pada tingkat yang lebih tinggi adalah siap bekerja sama dengan rekan pekerja lain, atau disebut cheerful cooperation. Tingkat berikutnya yang lebih tinggi lagi adalah kesukarelaan dalam wujud komitmen yang dilakukan dengan sepenuh hati, atau heartfelt commitment.

Tingkat kesukarelaan tertinggi yang relatif tersulit dikerjakan adalah creative excitement, yaitu gairah bekerja yang tidak saja sukarela dan penuh komitmen, tetapi juga disertai kreativitas.

Menyadari adanya tingkat-tingkat kesukarelaan seperti itu, maka adalah wajar jika manajemen perusahaan memikirkan beragam insentif. Contoh-contoh reward, seperti upah lembur, bonus kinerja, tunjangan hari raya, tunjangan kesehatan, tunjangan perjalanan, dan tunjangan-tunjangan lainnya, merupakan bagian dari paket untuk mengikat ”kesukarelaan” karyawan dalam bekerja.

Person Value vs Job Value

Topik reward yang hangat, kontroversial, tetapi tetap menarik untuk dibahas adalah berkenaan dengan person value dan job value. Person value adalah manakala manajemen memberikan poin lebih kepada orang yang akan direkrut. Sebagai ilustrasi, di dunia olahraga sepak bola, pemilik klub biasa melakukan “jual beli” pemain.

Para pemain punya karakteristik memiliki mobilitas yang tinggi, yakni mampu berpindah dari satu klub ke klub lainnya dan bahkan lintas negara, pekerjaan mereka terspesialisasi, pendidikan serta persyaratan dan pengalaman menjadi pemain sepak bola sudah terstandar. Jadi, tidak mungkin para pemilik klub sepak bola bisa ”salah memilih” pemain, karena portofolio dan performa para pemain sudah teruji sebelumnya, di tempat para pemain sepak bola itu merumput.

Peran statistik sepak bola juga tidak boleh dilupakan. Statistik mencatat berapa kesalahan atau pelanggaran yang dilakukan oleh pemain (terkait dengan kartu kuning atau kartu merah yang pernah diterimanya), berapa jumlah gol yang dicetak selama musim kompetisi, dan bahkan berapa pertandingan yang diikuti pemain berikut kondisi fisik pemain yang bersangkutan selama satu tahun. Semua hal tersebut telah dikalkulasikan secara rinci, yang dapat diketahui oleh seluruh publik penggemar sepak bola.

Berbeda dengan person value, untuk job value, manajemen menitikberatkan poin yang lebih tinggi pada nilai jabatan seseorang yang ditunjukkan dengan ”posisi” yang disandang oleh pemangku jabatan di perusahaan saat ini. Pekerjaan pemangku jabatan di sini sangat spesifik. Ia bisa jadi terkait dengan informasi atau rahasia perusahaan, jumlah pemangku jabatan yang lebih sedikit, sehingga kemungkinan perpindahan karyawan ini menjadi tidak seluwes jika dibandingkan dengan perpindahan pemain sepak bola.

Persamaan dari kedua pendekatan tersebut adalah semangat retention atau mempertahankan pemain/karyawan yang berada di klub/perusahaan, kompetisi, serta hukum permintaan dan penawaran pasar.

Alhasil, jika pada suatu ketika manajemen dengan origin tertentu ingin menerapkan poin yang lebih banyak kepada salah satu value tanpa melihat kondisi, asumsi, serta origin yang menggarisbawahi perusahaan, bisa jadi implementasi tersebut akan menjadi salah kaprah, salah arah, dan bahkan menyebabkan karyawan mengalami demotivasi.

Untuk person value, manajemen memberikan insentif reward yang luar biasa besar kepada pemain yang berprestasi. Ini dengan harapan agar pemain tersebut dapat mempertahankan kinerja bermainnya, serta mempertahankan pemain karena pasar berkompetisi untuk merekrut pemain yang berprestasi. Adapun untuk job value, dengan volatilitas dan mobilitas pekerja yang tidak begitu besar, maka insentif yang diberikan cenderung konvensional, sesuai dengan peraturan perusahaan, peraturan tenaga kerja, dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Untuk sistem reward yang menggunakan job value, dan perusahaan tidak serta merta menerapkan sistem konvensional yang tidak berbeda jauh dengan perusahaan lainnya, maka daya tariknya adalah dengan meningkatkan komponen gaji variabel, selain komponen gaji pokok. Misalnya, tunjangan komunikasi, tunjangan kendaraan, tunjangan laptop, tunjangan olahraga, dan tunjangan-tunjangan yang menarik lainnya, sesuai dengan poin jabatan dan kebutuhan karyawan. Dengan cara itu, ungkapan ”You pay peanut, you’ll get monkey” diharapkan tidak akan terjadi lagi di perusahaan.

Alex Denni
Human Capital & Execution Expert
Head of Consulting Group-Associate Partner Dunamis

Ketika Nyanyian Tak Lagi Seirama

Kepemimpinan ibarat seorang konduktor dalam permainan sebuah orkestra. Konduktor mesti memastikan baris-baris melodi berikut harmonisasi alat musik dimainkan secara sempurna oleh setiap pemain, sesuai dengan peran masing-masing di dalam orkestra. Konduktor memberikan aba-aba kepada para pemain orkestra melalui gerakan-gerakannya yang khas, sehingga karya klasik komponis-komponis ternama dimainkan secara sempurna.

Namun, apa yang terjadi jika terdapat kesalahan, seperti nada sumbang sang pemain solo, kesalahan pemain simbal membunyikan alat musiknya, ataupun harmoni yang tidak sedap terdengar di tengah-tengah orkestra? Siapa yang akan disalahkan dan siapa yang bertanggung jawab atas ”kesalahan-kesalahan” tersebut? Jawabannya, tentu yang salah adalah sang pemimpin orkestra. Kesalahan sekecil apa pun tidak dapat ditolerir, karena pada saat itu performa dan citra tim orkestra tengah diperdengarkan dan dipertaruhkan di depan publik.

Cerita tentang konduktor orkestra tadi adalah ilustrasi untuk membahas isu-isu tentang kepemimpinan. Namun, sejatinya, untuk mencari penyebab pasti mengapa sampai terjadi ketidakharmonisan ”di dunia nyata” antara pemimpin dan anak buah pada kenyataannya memang tidak semudah kasus dalam sebuah orkestra.

Ketika Drama Berakhir

Ada banyak sekali kejadian yang ”menggelikan” di dalam organisasi kalau pemimpin tidak mengerti atau tidak peka terhadap ”kebutuhan asasi” orang-orang dalam seluruh jajarannya. Atau, jika pemimpin memercayakan segala urusan dan keputusan terkait people management kepada wakilnya atau bahkan kepada orang kepercayaannya. Sering kali pada akhir cerita sang pemimpin akhirnya bertanya mengenai sebab musabab kegagalan implementasi suatu program: ”Mengapa teman-teman tidak buy in terhadap program ini? Mengapa kalian baru mengatakannya sekarang? Mengapa kalian tidak mau terbuka?” Kemudian, jawaban dari anak buah tidak kalah tragisnya di mata sang pemimpin: ”Bapak tidak pernah memberikan kesempatan kepada kami untuk membahas program ini. Mengapa Bapak baru bertanya kepada kami sekarang?” atau ”Bapak terlalu memaksakan diri dengan program semacam itu.”


Ini adalah pertunjukan drama tragis ”real time” di tengah korporasi yang memakan biaya besar, dan sedari awal sudah menggambarkan betapa tidak seiramanya suara antara pemimpin dan jajarannya. Bayangkan jika drama ini dibumbui dengan ”subjektivitas pemimpin” yang cenderung memercayai laporan orang kepercayaannya, atau membedakan seorang terhadap orang-orang lainnya. Drama tersebut akan bertambah seru dan penuh lika-liku bak film India.

Terjadinya subjektivitas pemimpin mengindikasikan komunikasi yang kurang baik atau bahkan secara ekstrem terdapat ketidakpercayaan antara pemimpin dan jajarannya. Artinya, pemimpin menyerahkan pendapat kedua atau second opinion kepada orang yang kurang tepat, dalam artian orang tersebut tidak pada level untuk menilai kinerja, kapasitas, atau bahkan pribadi seseorang.

Lalu, apa akibat dari komunikasi bertingkat tersebut bagi perusahaan? Dalam jangka panjang, nilai-nilai open feedback, fair play, kompetisi yang sehat, inovasi, dan bahkan proaktivitas menjadi makin terkikis, karena adanya kaki-tangan perantara yang menyampaikan informasi yang seharusnya tersistematis di dalam sebuah sistem.

Drama ini seharusnya segera diakhiri begitu diketahui gejalanya, di mana sebenarnya terdapat banyak mekanisme yang mengukur seberapa besar harmonisasi antara pemimpin dan jajarannya. Berbagai mekanisme HR yang dimaksud untuk mengukur, memprediksi, dan menilai tingkat harmonisasi pemimpin dengan jajarannya di dalam suatu organisasi adalah: performance appraisal, value measurement system, 360 degree assessment, employee satisfaction survey, employee award, employee counseling, kotak surat, dan perangkat-perangkat objektif lainnya.

”See – Do – Get” Effect Pemimpin

Pemimpin yang subjektif adalah pemimpin yang tidak lulus uji intuisi dan uji konsistensi. Tujuan utama pemimpin macam ini adalah mementingkan power serta ”penguatan citra” dirinya. Pemimpin seperti itu, dalam rangka mewujudkan tujuannya, memilih berpolemik, memberikan janji-janji dan target yang tidak masuk akal kepada para pemegang saham, hingga memanfaatkan anak buahnya untuk tujuan-tujuan tertentu.

Di sisi personal, status quo kepemimpinan menguat karena berhasil mendepak ”para penyanyi sumbang” yang menginginkan perubahan. Di tataran organisasi, terjadilah ”kerugian besar perusahaan” sebagai akibat hilangnya ide kreatif dan inovasi karyawan, dan bahkan eksodus orang-orang pintar untuk mencari perusahaan yang lebih baik dan sehat guna mencurahkan ide-ide dan perubahan.

Lalu, apa hasil yang didapat sang pemimpin? Anak buah yang semula kreatif dan inovatif cenderung menjadi submisif, masa bodoh, dan bahkan tidak mempertanggungjawabkan pekerjaannya terhadap pemimpin dominan tersebut. Dan, yang sangat disayangkan adalah pemimpin tidak lagi mendapatkan umpan balik yang ditunggu-tunggu untuk perbaikan kinerja unitnya. Intinya, sikap business as usual-nya malah merugikan perusahaan.

Di sisi lain, pemimpin yang objektif menggunakan intuisi, nyali, dan konsistensi kepemimpinan secara berimbang. Pemimpin yang menginginkan harmoni yang berimbang dengan jajarannya akan selalu mengomunikasikan harapan-harapan terkait kinerja unit kepada jajarannya melalui cara yang tersistematis, yakni: performance appraisal; lalu secara periodik pemimpin akan menilai secara keseluruhan apakah nilai-nilai korporasi tetap kukuh dipegang melalui value measurement system. Untuk mengukur efektivitas atau kekuatan tim di dalam suatu unit/korporasi, digunakan 360 degree assessment, sehingga kelemahan dan kekuatan tim dapat dipetakan. Lalu, secara spesifik dan periodik, perusahaan menilai tingkat kepuasan karyawan melakukan employee satisfaction survey, mulai dari karyawan di kantor pusat hingga karyawan di lapangan. Dan, ada banyak lagi implementasi yang disesuaikan dengan size organisasi dan event/ritual organisasi dalam menciptakan hubungan harmonis dengan karyawannya, seperti: employee award, employee counseling, kotak surat, dan program lainnya.

Apa hasil yang akan diperoleh? Hasilnya, di antaranya, anak buah menjadi partisipatif, bersemangat, kreatif, inovatif, dan berkembang seiring dengan bertumbuhnya kepemimpinan sang pemimpin serta berkembangnya organisasi.

Dua Pembelajaran

Sebagai penutup, terdapat dua pembelajaran penting dalam artikel singkat ini. Pertama, pemimpin yang senantiasa menggunakan intuisi, nyali, dan konsistensi kepemimpinan secara berimbang akan senantiasa mendapatkan masukan yang objektif yang sesuai harapan, meskipun hal itu jauh dari ekspektasi sang pemimpin. Kedua, suara-suara sumbang dari para penyanyi sumbang yang terdengar di dalam organisasi sebenarnya bukanlah ancaman atau kemunduran bagi pemimpin dan kepemimpinan di dalam organisasi. Suara-suara tersebut adalah representasi dari keberagaman, kekayaan, dan kebijakan hidup yang khas dan dimiliki oleh jajarannya.




Alex Denni
Human Capital & Execution Expert
Head of Consulting Group-Partner Dunamis

Organisasi Bisnis yang Hebat

Bicara tentang organisasi bisnis yang hebat selalu saja memberikan inspirasi kepada para praktisi bisnis. Ukuran-ukurannya banyak disebutkan orang. Misalnya, produk dan layanan yang unggul, hasil penjualan/revenue yang tinggi, laba yang melambung, kepuasan pelanggan, citra yang bagus, pangsa pasar yang meningkat, dan lain-lain.

Akan tetapi, apa artinya revenue dan laba yang tinggi jika pada tahun-tahun selanjutnya terjadi kemunduran? Apa artinya pelanggan yang puas jika satu demi satu para pelanggan pindah ”ke lain hati”? Apa artinya pangsa pasar meningkat jika para karyawan tidak puas dan lama-kelamaan produktivitasnya menurun, atau pindah ke perusahaan lain? Apa artinya citra yang bagus jika hanya sebatas citra pelayanan dan produk yang bagus, dan tidak ada nilai sosialnya?

Di era pengetahuan sekarang ini, organisasi yang hebat ternyata memenuhi empat kriteria penting yang membedakannya dengan organisasi lain. Pertama, kinerja unggul yang dapat dipertahankan. Ada sebuah istilah yang bagus untuk dipinjam, yaitu batting average. Arti istilah tersebut adalah persentase keberhasilan dalam sejumlah upaya. Contohnya, dalam penetapan dan pencapaian target selama sepuluh tahun terakhir, berapa persen yang berhasil dicapai perusahaan? Jika tujuh dari sepuluh tahun berhasil mencapai target, batting average-nya adalah 70%. Organisasi yang hebat adalah yang batting average-nya tinggi. Ini mengindikasikan kemampuan mempertahankan kinerja.

Kedua, pelanggan yang amat setia. Jadi, bukan sekadar setia, yang mungkin bisa digoyang untuk pindah ke lain hati. Ketiga, karyawan yang sangat setia dan terlibat dalam pekerjaan sehari-hari. Keempat, kontribusi yang menonjol (distinctive) kepada masyarakat. Perusahaan-perusahaan mana saja yang boleh disebut sebagai organisasi yang hebat? Dalam skala global, nama-nama besar yang sering disebut adalah Toyota-Jepang, Nokia-Finlandia, BP-Inggris, GE-AS, dan Samsung Group-Korea Selatan. Dalam skala nasional, ada beberapa contoh, seperti PT Astra International Tbk. dan PT Unilever Indonesia Tbk.

Apakah penyebutan nama-nama besar perusahaan, baik dari luar negeri maupun dalam negeri, lantas diartikan bahwa organisasi bisnis yang hebat itu adalah yang berskala besar? Tentu tidak. Sepanjang sebuah organisasi mampu memenuhi empat syarat tadi, maka mereka bisa disebut sebagai organisasi yang hebat.

Untuk dapat memenuhi empat kriteria itu, agar mampu meraih status organisasi yang hebat, diperlukan tiga hal (sedikit, tetapi memerlukan komitmen yang besar), yakni pemimpin yang hebat, individu yang efektif, dan eksekusi yang selaras (aligned). Pemimpin hebat diperlukan oleh sebuah tim atau sebuah organisasi. Banyak contoh membuktikan hal itu. Ada catatan di sini, pemimpin hebat tidak harus dia itu CEO atau direktur utama. Dia bisa berasal dari semua tingkatan manajerial perusahaan. Bisa dari manajemen puncak, bisa dari tingkatan menengah seperti kepala divisi, dan bisa pula dari tingkat first-line manager, baik yang disebut manajer maupun penyelia/supervisor.

Apa yang dilakukan pemimpin yang hebat? Jika itu kita tanyakan kepada 100 orang, mungkin kita akan menemukan 30-an hal yang harus dilakukan agar seseorang menjadi pemimpin yang hebat. Padahal, sebenarnya esensinya cukup empat saja agar seseorang bisa menjadi pemimpin yang hebat. Apa saja? Memberi ilham―termasuk menginspirasikan trust―memperjelas arah, menyelaraskan sistem, dan mengembangkan talenta bawahannya.

Dengan empat hal itu, seseorang akan mampu memimpin sekelompok orang dalam sebuah wadah, baik berskala kecil bernama tim, maupun berskala besar bernama organisasi. Menjadi tugas seorang pemimpin untuk memastikan organisasi mampu mengeksekusi strategi yang dicanangkan. Kemampuan membawa organisasi mengeksekusi adalah bagian dari kehebatan (greatness) seorang pemimpin. Termasuk dalam kemampuan ini adalah bagaimana membuat sejumlah kecil orang menggerakkan sebagian besar selebihnya (= hukum Pareto).

Pemimpin hebat tidak akan mampu membuat organisasi menjadi hebat jika ia tidak didukung oleh individu-individu yang efektif. Para individu ini dapat menjadi anggota tim dan sekaligus karyawan perusahaan yang efektif jika memenuhi enam hal, yakni bersikap fokus dan disiplin, berkarakter dipercaya (trustworthy), berkemampuan business judgement, bersikap proaktif, mampu bekerja sama dengan orang lain, dan mampu menjadi pendengar dan komunikator yang baik.

Di era sekarang yang merupakan era pengetahuan, para individu atau karyawan dalam perusahaan disebut sebagai knowledge worker. Mereka adalah orang-orang yang berpendidikan baik dan berketerampilan tinggi. Oleh karena itu, mereka mempunyai pilihan yang lebih banyak untuk bekerja di mana dan bagi siapa. Oleh karena itu pula, berbeda dari karyawan era industri, knowledge worker memandang diri mereka sebagai orang yang ”sukarela” bekerja bagi orang lain atau organisasi. Singkat kata, mereka memandang diri mereka sendiri sebagai ”sukarelawan”.

Memahami karakteristik knowledge worker penting bagi para pemimpin perusahaan yang ingin mencapai status ”hebat” atau ”great”. Cukup empat hal saja yang dilakukan oleh seorang pemimpin hebat, tetapi butuh jiwa besar dan komitmen tinggi agar bisa mewujudkannya.

Faktor ketiga, setelah pemimpin hebat dan individu efektif, adalah proses eksekusi dan fokus yang selaras (aligned). Satu kelemahan yang sering menghinggapi banyak perusahaan adalah ketidakmampuan mengeksekusi strategi perusahaan. Untuk mengatasinya diperlukan enam hal: kejelasan sasaran, komitmen, penerjemahan sasaran perusahaan menjadi sasaran unit kerja, lalu menjadi sasaran individu, enabling (pemampuan), sinergi, dan akuntabilitas.

Meski uraian sebelumnya banyak membahas organisasi bisnis, bukan berarti organisasi lain, yaitu pemerintahan dan organisasi kemasyarakatan (yang nirlaba) tidak dapat menjalankannya. Mereka dapat mengadopsi dan mengadaptasi semua hal yang dibahas untuk organisasi bisnis dan menerapkannya guna mencapai idaman organisasi yang hebat.

Organisasi yang hebat (a great organization), baik organisasi bisnis maupun bukan, terwujud oleh para individu yang efektif dalam eksekusi organisasi, yang fokus, yang dipimpin oleh pemimpin yang hebat. Bisakah kita melakukannya? Pasti bisa.



Alex Denni
Human Capital & Execution Expert
Head of Consulting Group-Partner Dunamis

Storytelling

Berikut ini adalah sebuah cerita yang terjadi hampir empat dasawarsa lalu. Pada awal 1970-an, seorang pejabat Pertamina menerima tamu asing. Tamu itu menginap di sebuah hotel di Jakarta. Sang tamu tidak tahu bahwa air dari keran di kamar mandi hotel tidak dapat diminum langsung, meski hotel yang ditempatinya adalah hotel kelas atas.

Suatu ketika, sang tamu meminumnya. Keesokan harinya dia kerepotan harus berkali-kali ke toilet. Ternyata, dia terkena diare. Dokter pun dipanggil untuk mengatasi. Setelah diusut oleh dokter, ketahuanlah bahwa penyebabnya adalah air kamar mandi hotel yang diminum langsung.

Bagi si pejabat Pertamina, tentu sakit perutnya sang tamu adalah peristiwa yang memalukan. Soalnya, air keran di negeri sang tamu bisa langsung diminum. Baik itu air keran di rumah, di sekolah, di kantor, maupun di hotel, semuanya bisa diminum langsung tanpa harus dimasak.

Setelah sang tamu sehat, urusannya selesai, dan kembali ke negerinya, pejabat itu mendapat ilham. Agar para tamu asing terbebas dari masalah air minum, jawabannya adalah ada air minum yang tersedia kapan saja tanpa harus memasak. Dengan ide itu, ia pun mulai mengembangkan sebuah rencana bisnis memproduksi air yang siap diminum kapan pun dibutuhkan. Pada 1973/74, produk ini belum bisa diterima masyarakat. Bagi banyak orang, ide itu terasa aneh. Air minum biasa, tanpa rasa, kok dijual?

Akan tetapi, lambat laun pasar mulai menerima. Kini, perusahaan yang dikembangkan si pejabat tadi berkembang pesat dengan produksi tahunan 3,5 miliar liter. Hari ini, kisah tentang si pejabat tadi, yang bernama Tirto Utomo, dan produknya, Aqua, sudah menjadi cerita klasik. Baik disampaikan secara tertulis maupun lisan, kisah itu akan sama menariknya.

Tirto Utomo dan Aqua hanyalah satu dari sekian banyak kisah orang Indonesia yang menarik dan bagus jika diceritakan ulang. Kini, kita ambil kisah dari luar. Pernahkah Anda mendengar pengalaman Steven Denning? Dia bekerja di Bank Dunia. Denning meniti karier di sana hingga suatu saat menduduki posisi program director. Suatu ketika, pada akhir 1995, ia melakukan presentasi untuk kalangan internal Bank Dunia. Presentasinya didasarkan atas hasil penelitian dan dibuat dalam powerpoint slides yang sungguh bagus. Akan tetapi, presentasi itu ternyata tidak membuat audiens tertarik. Segera, ia merasa kesulitan untuk meyakinkan audiens. Jalan buntu. Presentasinya yang disiapkan secara matang tidak membawa pengaruh.

Akhirnya, Denning menggunakan cara lain. Ia memulai dengan cerita kecil. Audiens ternyata menunjukkan ketertarikan. Ia pun melanjutkan dengan cerita lain, yaitu cerita tentang Zambia. “Beberapa bulan lalu, seorang pekerja kesehatan di sebuah desa di Zambia masuk ke situs internet milik Pusat Pengendalian Penyakit di Atlanta, Georgia, AS, dan memperoleh jawaban tentang bagaimana menangani penyakit malaria.” Denning melanjutkan, “Harap diingat, kejadian ini adalah pada Juni 1995, bukan Juni 2015. Juga bukan di ibu kota Zambia, melainkan di sebuah desa yang jaraknya 600 kilometer dari ibu kota. Juga, Zambia adalah negara miskin. Namun, sadarkah Anda bagian penting dari cerita ini bagi kita di Bank Dunia? Bank Dunia ternyata tidak ada dalam gambar ini!”

Audiens pun tertawa. Lanjut Denning, ”Kita tidak mengorganisir know-how kita sedemikian rupa, sehingga mampu berbagi informasi berharga di antara para pembuat keputusan yang menangani kemiskinan. Bayangkan seandainya kita bisa melakukannya. Bayangkan seandainya organisasi kita dapat mengorganisir pengetahuan yang dimilikinya, seperti apa organisasi kita?”

Beberapa waktu setelah kejadian itu, Denning melihat para manajer mulai berhubungan satu sama lain. Bahkan, para manajer pun berhubungan langsung dengan presiden Bank Dunia. Lalu, pada 1 Oktober 1996, di hadapan 170 menteri keuangan yang hadir dalam acara pertemuan tahunan Bank Dunia, presiden Bank Dunia, Jim Wolfensohn, berkata, ”We were going to be a knowledge sharing organization, from top to bottom. We are going to become the knowledge bank.”

Menyadari kekuatan penceritaan (storytelling), Denning mencoba menggunakan cerita-cerita untuk maksud lain. Dari upayanya itu, ia pun menemukan bahwa selain menghibur dan menyampaikan informasi, cerita dapat memelihara budaya, membangun hubungan dan kolaborasi, dan bahkan dapat membuat organisasi berubah. Ia pun belajar memahami bahwa cerita dapat menanamkan nilai-nilai, berbagi pengetahuan, menjinakkan rumor, dan menceritakan masa depan atau visi.

Pengalaman Denning mengantarkannya untuk menulis buku pada 2001, yang berjudul The Springboard: How Storytelling Ignites Action in Knowledge-era Organizations. Setelah itu, ia juga menulis beberapa buku, termasuk salah satunya bersama John Seely Brown, Katalina Groh, dan Larry Prusak dengan judul Storytelling in Organizations.

Ahli storytelling lainnya, Annette Simmons, punya pendapat yang berharga untuk disimak: “Hal yang orang-orang inginkan adalah faith (keyakinan) pada Anda, sasaran Anda, keberhasilan Anda, dalam cerita yang Anda tuturkan. Keyakinan itulah, bukannya fakta, yang mampu menggeser gunung.”

Kini, penceritaan menjadi salah satu alat dalam kehidupan organisasi kita. Penceritaan adalah produk otak kanan, sementara kehidupan manajerial-analitis adalah produk otak kiri. Oleh karena itu, penceritaan melengkapi cara kita menangani organisasi.

Cerita menjadi menarik karena para eksekutif menuturkan cerita dari hatinya. Audiens dapat menangkap percikan-percikan itu dengan perasaan dan pikiran mereka. Mereka dapat “melihat” sang penutur yang sedang melalui sebuah proses (sebagaimana tertangkap dari cerita yang dituturkan). Melalui cerita, audiens diajak menjalani sebuah proses, melihat lika-liku sebuah prosedur, dan diberi tantangan. Mereka antusias menantikan saatnya mengetahui bagaimana caranya mengatasi tantangan itu.

Bukan cuma para eksekutif saja yang diuntungkan dengan penuturan cerita, para manajer juga diuntungkan. Bahkan, para staf pun dapat memperoleh manfaat dengan teknik storytelling. Berapa pun usia kita, cerita tetap menarik.

Alex Denni
Human Capital & Execution Expert
Head of Consulting Group-Partner Dunamis