Nanny adalah istilah bahasa Inggris untuk pengasuh anak. Sebagai pengasuh anak, nanny diangkat menjadi sebuah reality show. Dengan pengasuh berpengalaman dari Inggris, sebuah tayangan yang dibuat oleh produsen AS dengan judul “Nanny
Inti tayangan itu tidak lain adalah menunjukkan bagaimana Nanny memecahkan masalah pengasuhan anak-anak dalam tempo seminggu. Namun, tunggu dulu. Para eksekutif dan manajer di perusahaan besar bisa memperoleh apa dari tayangan seorang pengasuh seperti itu?
Ini soal knowledge sharing. Bagaimana sebuah reality show keluarga bisa menjadi contoh nyata praktek memimpin. Bukan cuma orang tua saja yang memperoleh pelajaran, tetapi juga para pemimpin perusahaan mulai dari anggota board of directors hingga supervisors.
Episode demi episode menunjukkan gambar nyata keluarga-keluarga yang menghadapi anak-anak bermasalah. Akan tetapi, apakah penyebab masalah ada pada anak-anak?
Sebuah keluarga dengan 23 anak diasuh oleh seorang ibu yang suaminya lumpuh di bagian pinggang ke bawah. Semua anak itu sebenarnya anak angkat. Namun, ibu ini merawat mereka semua dengan penuh kasih. Salah satu anak cacat fisik, sehingga harus terpaku di kursi rodanya dan tidak bisa leluasa bermain.
Sang ibu kewalahan karena anak-anak itu, yang berusia 8 hingga 16 tahun, setiap hari berdebat, ribut, berteriak, bahkan berkelahi. Mereka sulit diatur. Dari mulai bangun tidur hingga kembali ke tempat tidur, sang ibu tidak berhenti bekerja. Memasak, menyiapkan makanan, membersihkan bekas makanan, merapikan tempat tidur/kamar, mencuci pakaian, menyetrika pakaian, mengawasi, melarang, dan seterusnya. Ia tidak bisa beristirahat. Suaminya pun butuh bantuannya.
Nanny memperhatikan, mencatat, dan menyimpulkan hal-hal yang menjadi pemecahan masalah. Sang ibu diberi pengertian bahwa komunikasi dan kasih sayang kepada anak-anak harus dengan cara yang sehat. Sang ibu harus mulai memberi tugas kepada anak-anak. Mereka mesti diberi kepercayaan untuk mulai mengerjakan tugas sehari-hari oleh mereka sendiri. Komunikasi harus dibangun agar hal ini diterima anak-anak.
Ketika saran itu dijalankan, perkembangan positif terjadi. Anak-anak bisa berkomunikasi dengan benar, yaitu tidak lagi berteriak dan berkelahi. Mereka pun bisa menerima tanggung jawab mengurus diri sendiri, mulai dari membenahi tempat tidur, menyiapkan makanan, hingga mencuci pakaian. Maka, pekerjaan yang membebani sang ibu menjadi jauh berkurang. Ia punya waktu senggang untuk dirinya dan untuk suami, sehingga ia bisa lebih berbahagia.
Sebuah episode lain menunjukkan masalah yang berbeda. Sepasang suami istri kewalahan dengan dua anak mereka, masing-masing berusia tiga tahun (laki-laki) dan empat tahun (perempuan). Masalahnya adalah dua anak itu berperilaku kasar. Mereka gemar saling pukul. Tidak itu saja, pada saat gusar kepada ibu mereka, dengan ringan tangan mereka memukul sang ibu.
Akan tetapi, ternyata ibunya yang lemah hati (tidak tegaan), sehingga membiarkan dirinya dikuasai anak-anaknya. Perjuangan sang Nanny adalah bagaimana menyadarkan sang ibu agar bertindak tegas. Bagian yang paling sulit adalah melepaskan ketergantungan anak-anak itu terhadap dot (empeng) dan botol susu. Empeng dan botol susu ternyata menjadi simbol “kekuasaan” mereka terhadap ayah-ibu. Dengan rengekan yang tak bisa didiamkan dan perilaku kasar, ayah-ibu mereka takluk.
Perlu dua hari dua malam bagi Nanny untuk mengantarkan ayah-ibu itu melewati proses pelepasan anak-anak mereka dari empeng dan botol susu. Malam pertama adalah proses melepas anak-anak itu dari botol susu, dan malam kedua, yang lebih sulit, adalah melepaskan mereka dari empeng. Dua orang tua itu hampir menyerah pada tangisan dan rengekan anak-anak mereka di kamar masing-masing yang terus berlangsung hingga dini hari. Namun, keteguhan sang Nanny memberi semangat kepada sang orang tua membuat mereka bertahan.
Setelah dua malam berlalu, anak-anak menjadi lebih tenang tanpa empeng dan botol susu. Ayah-ibu mereka sadar bahwa cara Nanny ternyata benar. Sang ibu mengakui bahwa ia harus lebih tegas terhadap anak-anaknya tanpa mengurangi kasih sayang. Sang ayah pun sadar bahwa ia seharusnya mampu melakukan hal yang sama.
Sebuah keluarga lain memiliki delapan anak. Setiap hari mereka semua, tanpa kecuali, suka berteriak, mengeluh, dan saling memukul. Nanny menyarankan lima cara pemecahan kepada seluruh anggota keluarga: saling menghormati, tidak cengeng/merengek, tidak boleh memukul, bersikap konsisten, anak-anak yang ikut aturan akan mendapat reward.
Mula-mula sang ibu sinis dengan cara pemecahan itu. Sang ayah, yang merasa dirinya tidak perlu belajar karena tahu cara mendidik anak, menganggap bahwa yang harus belajar adalah istrinya. Perlu waktu sampai mereka mau mengikuti saran.
Ketika ayah-ibu itu mengubah diri seperti yang disarankan, anak-anak pun mulai berubah sikap menjadi lebih komunikatif. Mereka tidak lagi berteriak atau memukul.
Para pemimpin dapat melihat dunia keluarga sebagai cermin bagi organisasi mereka. Para karyawan memang bukan anak-anak dan bukan juga remaja. Namun, soal role modeling tetap saja sama. Orang tua harus mampu menjadi role model bagi anak-anaknya. Begitu pula para pemimpin perusahaan, mereka harus mampu menjadi role model bagi bawahan.
Akar masalah yang dihadapi keluarga beranak 23 orang sama dengan akar masalah yang dihadapi keluarga beranak 2 orang. Demikian pula halnya organisasi bertenaga kerja 20.000 orang, akan mempunyai akar masalah yang sama dengan organisasi bertenaga kerja 20 orang.
Alex Denni
Human Capital & Execution Expert
Head of Dunamis Consulting - Partner Dunamis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar