Dalam workshop Budaya Perusahaan, saya bertanya, “Jika ingin naik taksi, mana yang Anda pilih?” Peserta menjawab, “Blue Bird.” Mengapa? Jawaban peserta bermacam-macam, tetapi intinya mereka merasa aman jika menggunakan taksi tersebut. Kesimpulannya, sikap/perilaku para pengemudi taksilah yang menciptakan rasa aman dan nyaman muncul dalam penilaian para peserta workshop. Ilustrasi ini adalah contoh “sederhana” dalam menentukan budaya perusahaan di bisnis taksi.
Sejatinya, penentuan “budaya perusahaan” secara bertahap dan sistematis, hingga diaplikasikan terus-menerus dalam perusahaan, ternyata bukan perkara yang sepele. Budaya perusahaan yang didefinisikan sebagai perilaku yang ditemukan, diadaptasikan, dan dipraktekkan oleh kebanyakan karyawan dalam perusahaan ternyata juga memiliki paduan antara kompleksitas dan kesederhanaan.
Budaya perusahaan secara internal merupakan penggerak, tata nilai, dan identitas perusahaan itu sendiri. Sebagai ilustrasi, suatu perusahaan rokok terkenal di Indonesia menerapkan budaya “Kejujuran/Honesty” untuk karyawannya. Jika terjadi pencurian, kecurangan, atau penyimpangan/penyelewengan dana, karyawan tersebut akan langsung dipecat. Jadi, apa yang “menggerakkan” jajaran perusahaan dalam organisasi tersebut adalah jujur pada kondisi apa pun. Jika karyawan tidak jujur, konsekuensinya adalah melanggar tata nilai perusahaan, dengan sanksinya adalah diberhentikan.
Adapun budaya perusahaan secara eksternal merupakan citra/persepsi dari orang lain. Baik atau buruknya perusahaan berikut jajarannya akan dinilai dalam bentuk persepsi orang lain/pasar selama berinteraksi dengan perusahaan tersebut. Jadi, jika perusahaan telah membangun dan menanamkan budaya yang kuat, persepsi yang tertanam di masyarakat adalah perusahaan tersebut memiliki sistem yang kuat, citra perusahaan yang terus tumbuh dan menciptakan nilai, sehingga citra tersebut menyebabkan perusahaan menjadi tujuan orang-orang (terbaik) untuk bekerja. Alhasil, tidak heran jika kekuatan budaya perusahaan menjadi nilai tambah bagi nilai perusahaan, yang tercermin dari tren peningkatan harga-harga saham yang positif serta persepsi positif dari para stakeholder-nya selama berhubungan dengan perusahaan tersebut.
Proses untuk menemukan perilaku yang diadaptasi dan dipraktekkan jajaran perusahaan atau ”proses diagnosa”, menurut Schein, Sang Guru Budaya Perusahaan dalam bukunya yang berjudul Corporate Culture Survival Guide, kedalamannya dipetakan menjadi tiga tingkat:
Pertama, Artefak, proses dan struktur organisasi yang biasanya gampang terlihat.
Kedua, Strategi-strategi nilai yang diadaptasi (justifikasi nilai yang telah diadaptasi), berupa strategi, pencapaian, falsafah.
Ketiga, Asumsi yang mendasar (sumber utama dari nilai dan tindakan), biasanya tanpa disadari bersifat taken-for-granted, kepercayaan, persepsi, pemikiran, dan perasaan
“Noise Information” vs “Real Information”
Pada tingkat pertama, perilaku yang ditemukan akan sangat mudah diobservasi. Sebagai ilustrasi, jika kita masuk ke sebuah SPBU, yang dilakukan petugasnya adalah senyum, salam, dan sapa. Berikutnya adalah pengisian BBM yang pola-polanya sudah sangat terstandar.
Namun, pada tingkatan kedua, prosesnya menjadi kian tidak mudah. Perilaku-perilaku yang akan digali tersebut telah dijustifikasi atau diadaptasi dalam perusahaan oleh personil-personilnya, sehingga dalam penggalian proses ini akan banyak sekali ditemukan “noise information” atau informasi yang tidak relevan sebagai data pendukung. Artinya, noise information di sini bisa jadi merupakan suara-suara ketidakpuasan segelintir karyawan dengan sistem, keinginan sekelompok karyawan untuk mengaktualisasikan diri, dan isu-isu lain yang tidak ada hubungannya dengan perilaku yang banyak dipraktekkan orang. Penentuan noise & real information dapat dideteksi melalui alat-alat dalam bentuk studi dokumen perusahaan, kuesioner, wawancara, dan forum group discussion (FGD). Masing-masing memiliki kontribusi tersendiri untuk memetakan tingkatan kedua.
Beralih ke tingkat ketiga, proses verifikasi terhadap asumsi-asumsi yang mendasari para karyawan melakukan sesuatu hal yang “jamak dan berulang“ tersebut membutuhkan usaha, waktu, pikiran, dan tenaga yang lebih serius. Namun, ada cara lain yang efektif untuk mengetahui keberadaan dan keberagaman subkultur yang sifatnya parsial, tetapi memberikan kontribusi pada pembentukan budaya perusahaan. Di setiap divisi terdapat aturan yang tidak tertulis dan telah diketahui/disepakati bersama oleh rekan-rekannya. Jadi, orang luar tak akan dapat melihat aturan tersebut sebelum masuk ke dalam lingkaran ritual informal mereka. Cara efektif tersebut menjadi sangat tidak efektif karena sangat bergantung pada apakah kelompok tersebut mau membuka diri dan menerima orang baru.
Dari paparan tadi didapat berbagai konsekuensi terkait kompleksitas implementasi diagnosa budaya perusahaan, yakni lamanya analisis serta biaya yang dikeluarkan, kedalaman, detail, serta lingkup pekerjaan dari diagnosa budaya perusahaan.
Kompleksitas vs Kesederhanaan
Sederhananya, apabila seseorang ditanya mengenai budaya perusahaannya, dia akan langsung menyebutkan satu per satu karena selalu dipraktekkan sehari-hari. Kemudian, “proses desain” adalah tindak lanjut dari proses diagnosa. Proses desain tidak akan berhasil jika tidak melibatkan jajarannya sendiri. Bisa dikatakan, sosialisasi tanpa melibatkan agen pengubah ibarat sebagai seseorang yang berada di menara gading—yang sudut pandangnya hanya berdiri pada tataran teori. Namun, untuk menyelami/memahami praktek dan kemudian dijadikan “desain budaya” yang terkait dengan nilai-nilai yang akan ditumbuh-kembangkan vs nilai yang akan ditinggalkan, action plan jajaran perusahaan dan kegiatan sosialisasi guna membahasakan budaya perusahaan ke jajaran pelaksana, ini ternyata tidak mudah. Artinya, ada sentuhan dua kutub yang ekstrem, yakni: kompleksitas untuk pendalaman dan penggalian budaya perusahaan, dan kesederhanaan untuk mendapatkan output yang diharapkan.
Akhirnya, proses manakah menurut Anda yang paling sederhana dan paling kompleks? Ternyata, perpaduan serta harmoni kompleksitas proses dan kesederhanaan output-lah yang menyebabkan budaya perusahaan sangat menantang untuk dijalani dan diuji (diverifikasi).
Alex Denni
Human Capital & Execution Expert,
Head of Consulting Group–Partner Dunamis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar