Rabu, 02 Desember 2009

Yel

Hampir di setiap kesempatan workshop untuk agen perubahan budaya perusahaan yang kami adakan, fasilitator kami melantangkan yel “Pemimpin...”, yang disambung oleh seluruh peserta dengan “... saya!” Maksudnya adalah masing-masing mereka tidak harus melihat kepada orang lain saat mencari yang namanya “pemimpin”. Pemimpin itu, ya, masing-masing dari mereka, alias “saya”. Tujuan yel adalah untuk terus menjaga tingkat semangat dalam mengikuti sesi-sesi kelas dan menanamkan paradigma bahwa setiap orang adalah pemimpin.

Mungkin ada di antara pembaca yang bertanya-tanya, apakah ada implikasi dari yel-yel tersebut terhadap perubahan? Mengapa pemimpin itu adalah saya? Atau, pertanyaan lanjutannya adalah, mengapa dalam proses perubahan kepemimpinan, hal semacam itu diperlukan?

Kepemimpinan, melalui wujud seorang pemimpin formal yang menyandang peran dan wewenang dalam organisasi, adalah penggerak dan penentu arah perusahaannya untuk berubah. Jika tidak ada kepemimpinan yang kuat, maka perubahan hanyalah mimpi kosong belaka. Artinya, perubahan yang terjadi di perusahaan haruslah diikuti dengan peningkatan kompetensi kepemimpinan di semua jajaran perusahaan.

Lalu, parameter apakah yang menandai peningkatan kompetensi kepemimpinan di dalam perusahaan? Jawabannya adalah parameter itu berupa perubahan cara para pemimpin di jajaran perusahaan dalam berpikir, termasuk ”perubahan paradigma” mereka dan bertindak menuntaskan pekerjaan, ”the way of doing things”.

Selanjutnya, untuk menjadi seorang pembaru atau agen perubahan bagi budaya perusahaan, terdapat banyak karakteristik kepemimpinan yang harus dimiliki, sebagaimana yang didefinisikan oleh Dey et al. (2002). Di antaranya adalah:

Karakteristik Umum Seorang Pemimpin

1. Karismatik

2. Pintar

3. Emosi yang stabil

4. Integritas

5. Self determination

6. Mendukung dan empatik

7. Memiliki kebutuhan yang tinggi untuk mencapai kesuksesan

8. Kreatif

9. Memiliki kebutuhan yang tinggi untuk mempengaruhi

10. Jujur

11. Memiliki ambisi

12. Dominan

13. Memiliki energi yang berlebih

14. Efektif dalam menyelesaikan masalah

15. Memiliki pengetahuan

16. Memiliki pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang dibutuhkan

17. Memiliki keyakinan dan tujuan yang kuat

18. Memiliki motivasi yang tinggi untuk memimpin

19. Flexsibel

20. Menetapkan tujuan

Adapun karakteristik teknis yang harus dimiliki oleh pemimpin menurut Dey et al. (2002), di antaranya:

Karakteristik Teknis Seorang Pemimpin

1. Membangun kebanggaan bagi pengikutnya

2. Menciptakan identitas organisasi

3. Memberikan kesan mendalam (impression management)

4. Membangkitkan kerja sama tim dan meningkatkan ikatan sosial tim melalui ritual

5. Memonitor, berkonsultasi, dan mendelegasikan tugas kepada pengikutnya

6. Memotivasi pengikutnya

7. Merupakan komunikator yang efektif (secara jelas menyatakan, mengomunikasikan, dan membangun komitmen terhadap visi)

8. Membangun kepercayaan diri dan menstimulasi antusiasme

9. Mendukung, mengakui, dan memberikan penghargaan bagi masukan para pengikut

10. Menggunakan analogi dan metafora (dalam mengomunikasikan dan memberikan inspirasi )

11. Mengembangkan simbol dan citra baru

12. Memberikan pertimbangan yang bersifat perorangan

13. Secara intelektual menstimulasi para pengikutnya

14. Mengembangkan dan membina para pengikutnya

15. Memberikan inspirasi kepada para pengikutnya untuk mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi

16. Mengelola konflik

Dari tabel di atas, jelaslah bahwa dalam meningkatkan kompetensi kepemimpinan ada banyak karakteristik yang harus dipenuhi agar pemimpin di semua jajaran perusahaan dapat menjadi pemimpin (bagi terciptanya perubahan) yang baik. Pemimpin bisa dilahirkan atau memang ”ditemukan” bakatnya di antara personel perusahaan. Karakteristik khas pemimpin, sesuai dengan yang dilukiskan oleh Dey et al. (2002), secara tersirat adalah para pemimpin merupakan motor penggerak, sumber inspirasi, dan pemelihara semangat perubahan di dalam organisasi melalui cara-cara mereka dalam berinteraksi dengan lingkungan, bawahan, yang diperkuat oleh mentalitas mereka yang penuh energi dan ambisi.

Sementara itu, terkait dengan ”kompetensi kepemimpinan”, telah banyak peneliti yang membagi, mengelompokkan, dan mengklasifikasikan hal-hal apa saja yang harus dimiliki oleh pemimpin. Dari berbagai macam penelitian yang dilakukan, terdapat tiga bagian besar keterampilan/aspek kompetensi kepemimpinan yang merupakan prasyarat yang harus dimiliki oleh pemimpin: (1) Aspek kognitif, yang meliputi kemampuan menganalisis, kemampuan inteligensia, kemampuan perencanaan, dan kreativitas; (2) Aspek kepribadian, yang meliputi keterampilan interpersonal, fleksibilitas, serta kematangan emosi; dan (3) Aspek manajerial, yang terkait dengan pengembangan orang lain, pengambilan keputusan, serta pengawasan.

Disadari, perubahan yang terjadi pada perusahaan memiliki kecepatan tertentu. Hal itu tergantung pada tingkat, skala, atau kedalaman kompetensi kepemimpinan yang dimiliki oleh agen perubahan bagi budaya perusahaan serta intensitas pemimpin (yakni agen tersebut) dalam menjalankan tugas serta komitmennya. Jadi, pada akhirnya, tantangan dalam mengembangkan kompetensi kepemimpinan di dalam perusahaan adalah bagaimana perusahaan memilih dan memilah kompetensi kepemimpinan yang cocok untuk dikembangkan, sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada di dalam perusahaan.

Akhir kata, kontribusi dalam proses pembinaan agen bagi perubahan budaya perusahaan adalah intensifikasi pengembangan kompetensi kepemimpinan. Bagi para pemimpin di semua lini manajemen, ini merupakan peluang untuk berkembang ke arah karier/posisi yang lebih baik. Di sisi organisasi, hal ini akan memberikan angin segar bagi perusahaan bahwa pada saat-saat kritis lahirlah agen-agen perubahan yang berkomitmen dan berkompetensi tinggi. Maka, tidaklah keliru teriakan yel-yel ”Pemimpin...” [adalah] ”... saya!” merupakan simbol bahwa perubahan hendaknya dimulai dari diri sendiri.

Alex Denni

Human Capital & Execution Expert

Head of Dunamis Consulting-Partner Dunamis

Taco Inc.: Studi Kasus tentang Human Capital

Taco Incorporated adalah kisah sebuah perusahaan keluarga yang hari ini telah memasuki kepemimpinan generasi ketiga. Dengan komitmen kuat memegang nilai-nilai yang luhur, perusahaan ini membuat produk mechanical & plumbing contractors dan jasa konsultansi. Taco tidak saja melayani pasar bisnis, tetapi juga pasar ritel.


Sejak berdiri, pabrik utama dan kantor pusat perusahaan ini berlokasi di sebuah kota kecil bernama Cranston, di negara bagian Rhode Island, Amerika Serikat. Generasi ketiga, yaitu John H. White Jr., mulai menjabat sebagai president perusahaan pada tahun 2001, setelah ayahnya, John H. White Sr., mangkat. Fokus usaha yang telah berjalan dalam dua generasi itu dilanjutkan oleh John H. White Jr. Ia berujar: “My philosophy is that we don’t start with the customers in mind but with the employees. If you can make them happy, the customers will be happy too.


Ucapan itu bukan sekadar bunga bibir. Buktinya adalah tingkat turnover karyawan yang kurang dari 1%—suatu prestasi yang mengagumkan. Prestasi itu dihasilkan dari strategi yang memperhatikan karyawan, termasuk strategi dalam meningkatkan keterampilan mereka melalui learning center.


Soal human capital pada Taco Inc. menjadi sorotan Thomas A. Stewart, seorang guru besar Harvard University yang menjadi pengasuh Harvard Business Review. Thomas mengangkat perusahaan itu dalam bab berjudul “Human Capital” dalam bukunya Intellectual Capital terbitan tahun 1997. Stewart menulis bahwa dengan penjualan pada tahun 1995 yang senilai US$80–90 juta, Taco Inc. termasuk perusahaan kecil saja untuk ukuran AS. Namun, lanjut Stewart, perusahaan ini mengagumkan dalam hal penyediaan peluang pendidikan. Lebih dari 70 jenis pelatihan disediakan dalam learning center mereka. Jumlah itu mencakup pelatihan-pelatihan yang terkait dengan pekerjaan. Mulai dari membaca blueprint, CNC machining, ISO 9000 auditing, statistical process control, TQM, metode produksi, customer service, keterampilan menelepon, hingga hukum perburuhan, dan lain-lain.


Bukan itu saja. Jenis-jenis pelatihan yang tidak terkait dengan pekerjaan pun mereka berikan, seperti program penurunan berat badan (bagi yang kegemukan), program berhenti merokok, program pelatihan yang terkait dengan rumah tangga, misalnya, bagaimana menghadapi anak-anak usia sekolah, bagaimana mengelola keuangan pribadi, bagaimana teknik berkebun, dan sebagainya.


Masih ada lagi. Perusahaan mengundang pejabat pemerintah daerah setempat, seperti wali kota dan ketua pengadilan, untuk sebuah sesi tanya jawab dengan para karyawan. Anak-anak para karyawan diajak menonton film tentang berburu ikan paus di Universitas Rhode Island. Mereka juga diberi kesempatan belajar bermain musik dengan kelompok Rhode Island Philharmonic selama dua minggu.


Itu semua dikoordinasikan oleh learning center Taco Inc. Selain membeli sendiri kanvas dan cat serta kuas untuk program melukis, para karyawan dan keluarga tidak dikenai biaya sama sekali untuk pelatihan-pelatihan yang mereka ikuti. Taco Inc. menghabiskan US$250.000 guna membangun learning center itu pada akhir 1992, dan menyediakan dana operasional sebesar US$200.000 per tahun.


Atas semua usahanya bagi pengembangan karyawan dan keluarganya, John H. White Sr. menolak menghitung secara kuantitatif return on investment-nya. Learning center hanyalah salah satu bagian dari strategi human capital Taco Inc. White Sr. mengatakan, seperti yang dituliskan Stewart: “It comes back in the form of attitude. People feel they’re playing in the game, not being kicked around in it.”


Pendirian learning center pada akhir 1992 sebenarnya justru ketika perusahaan baru saja melalui masa resesi periode 1990–1992. Sejak 1987 penjualan mereka tak meningkat. Meskipun tidak sampai merugi, penjualan yang stagnan jelas meresahkan mereka. Bahkan, pada 1991 penjualan Taco Inc. anjlok hingga 20%.


Di saat itulah Taco Inc. menghadapi situasi keuangan yang membahayakan kelangsungan hidup perusahaan. Mereka mempunyai tiga pilihan untuk mengatasinya. Pertama, perusahaan pindah ke arah selatan AS, yang biaya tenaga kerjanya lebih murah, sambil berharap situasi membaik. Pilihan ini tidak menarik karena White Sr. melihat banyak perusahaan memilih opsi ini, tetapi akhirnya malah bangkrut.


Kedua, perusahaan menghadapi situasi sulit ini dengan membeli mesin-mesin baru, siap merugi, dan segera mengambil peluang begitu situasi membaik. Namun, pilihan ini lebih berisiko bagi Taco Inc. Ketiga, pilihan yang lebih modest, tetapi lebih berat untuk dilakukan, yaitu memercayakan kepada apa yang human capital dapat lakukan, yang tidak dapat dilakukan oleh financial capital. Langkah pertama dalam pilihan ketiga ini adalah mengendalikan biaya yang berarti membatalkan rencana belanja modal. Seiring dengan itu, Taco Inc. dengan berat hati mengurangi 20% karyawan pabrik dan 30% staf kantor. White Sr. sadar bahwa ia dapat mengandalkan human capital, bukan hanya financial capital. Oleh karena itu, meskipun mem-PHK karyawan, ia tidak mau menggantikan mereka dengan mesin (otomasi).


Sepuluh tahun sejak Stewart menuliskan betapa turnover karyawan Taco Inc. kurang dari 1%, hari ini pun kondisi seperti itu masih terjaga. Melanjutkan strategi human capital-nya sang ayah, John White Jr. sukses pula membawa perusahaan menempuh sikap berorientasi pasar. Dengan kekuatan human capital-nya, perusahaan yang telah memproduksi 120 jenis pompa komersial selama lima tahun terakhir itu mempunyai sikap sebagaimana dikatakan Chris Integlia, senior vice president Control Division: “Taco has taken on a marketing focus and asking, ‘What else can we offer the market that it doesn’t have?’.” Kini, penjualan per tahun Taco Inc. mencapai US$150 juta, atau sekitar Rp1,45 triliun. Itulah cerita tentang Taco Inc. yang sukses menerapkan strategi human capital yang baik, semoga dapat menjadi ilham bagi kita.




Alex Denni
Human Capital & Execution Expert
Head of Dunamis Consulting-Partner Dunamis