Jumat, 07 Agustus 2009

Manajemen Perubahan di Era Pengetahuan

Roadshow penyelenggaraan Change Management Training merupakan pengalaman berkesan yang kami dapatkan terkait implementasi manajemen perubahan di era pengetahuan (knowledge era). Kesan dan pesan yang terbawa dari perjalanan ini sedemikian mendalam, dan makin memperkuat keyakinan kami bahwa untuk melakukan perubahan paradigma berpikir memerlukan proses yang panjang, energi yang besar, dan bahkan dapat memakan waktu hingga satu generasi.

Pada mulanya kegiatan ini dilakukan untuk mengidentifikasi, memetakan, serta memahami budaya lokal yang ada. Selain itu, kegiatan ini juga dilakukan untuk memberikan solusi bagaimana perusahaan dapat mengantisipasi dan mengimbangi perubahan praktek tata kelola perusahaan yang berkembang sedemikian pesat di tengah keterbatasan budaya lokal yang ada. Pada titik ini, perusahaan banyak melakukan investasi peralatan, peranti teknologi, serta infrastruktur modern guna mengatasi rintangan beratnya medan serta lingkungan geografis, terutama jika mereka harus menempuh perjalanan dari satu daerah ke daerah lainnya. Perusahaan juga merekrut sumber daya manusia (SDM) baik lokal maupun pendatang terbaik untuk bergabung di dalam perusahaan tersebut.

Jika dilihat dari permukaan, perusahaan tergolong sehat. Di sisi lain, tindakan-tindakan strategis juga telah dieksekusi oleh dewan direksi. Pada saat tulisan ini dibuat, tengah berlangsung kegiatan pelatihan serta pengembangan karyawan sesuai dengan jadwal yang ditetapkan dan strategi ekspansi perusahaan di sektor ekonomi mikro. Namun, di balik baiknya performa perusahaan tersebut, terdapat banyak hal yang sangat menggelisahkan manajemen puncak terkait dengan upaya menggugah dan mengubah cara berpikir para karyawan yang masih sangat local minded menjadi cara berpikir yang global serta kompetitif.

Kegiatan tersebut pada awalnya berjalan lancar dan fasilitasi berjalan dengan baik. Namun, hal menarik untuk pembaca ketahui adalah ketika ditanyakan kepada peserta: apakah perusahaan berada pada laut yang tenang dan damai, atau apakah perusahaan berada pada laut yang bergelombang tinggi, berarus deras, serta siap menerpa bahkan menenggelamkan perahu-perahu yang sedang berlayar di sana? Kebanyakan jawaban yang kami terima dari setiap cabang adalah: perusahaan berada pada laut yang tenang dan damai.

Pada awalnya kami berusaha meyakinkan peserta bahwa praktek tata kelola perusahaan bidang ini telah berubah menjadi sedemikian modern dan persaingan yang terjadi pada industri ini makin ketat. Banyak perusahaan yang bergerak di sektor yang sama mengalami kebangkrutan secara perlahan-lahan sebagai akibat lemahnya daya tahan finansial mereka. Namun, hal serupa kembali terjadi pada setiap cabang yang kami kunjungi, dan jajaran perusahaan melontarkan jawaban dengan hal yang sama, yakni perusahaan berada di laut yang tenang dan damai.

Lambat laun kami menyadari bahwa apa yang menyebabkan terhambatnya proses change management tersebut berkorelasi kuat dengan cara perusahaan yang bersangkutan beradaptasi dengan pengaruh lingkungan lokal, yang terasa sangat kental melingkupi daerah tersebut. Di sisi lain, kami menyadari betapa besar pengaruh budaya dan adat masyarakat di sekeliling perusahaan yang menjadi agen bagi pembangunan di daerah tersebut.

Faktor utama berasal dari paradigma masyarakat lokal yang memiliki pola hidup sebagai hunter & gatherer di era modern. Artinya, masyarakat hidup menetap dan mengetahui, mengecap, atau bahkan terbiasa menggunakan peralatan modern. Namun, sebagian besar dari mereka masih memiliki kecenderungan untuk hidup berkelompok (komunal); masyarakat yang hidup untuk “hanya hari ini saja”; dan masyarakat yang menggunakan manajemen sederhana di dalam pengolahan hasil hutan dan lahan pertanian. Masyarakat yang, fatalnya, tidak memiliki pikiran jangka panjang dalam memanfaatkan fungsi saving dan melakukan investasi untuk masa depan, tetapi langsung mengonsumsi uang dari perolehan hasil hutan/pertanian hingga uang tandas, habis tak tersisa. Kondisi demikian sangat memengaruhi siklus performa perusahaan.

Kami menyadari bahwa perubahan yang kami komunikasikan belum dapat diadaptasi secara optimal, karena secara fisik belum terlihat tingginya gelombang serta derasnya arus yang menerpa perusahaan. Pada kenyataannya pemandangan yang tampak adalah masih banyaknya lahan tidur, terbengkalai, serta hutan-hutan yang menghijau; serta berbagai kekayaan tambang yang masih menunggu investasi dari luar untuk diolah. Implikasinya adalah makin banyak arus pendatang serta perusahaan baru yang berdiri dan secara sukarela memberikan bantuan, atau kompensasi, bagi pembebasan lahan atau kepentingan investasi lainnya. Akibatnya, perlahan tetapi pasti, masyarakat menjadi terasing di lingkungan mereka sendiri yang sebenarnya secara kasatmata telah jauh sekali mengalami lompatan kemajuan.

Action Plan Manajemen Perubahan di Era Pengetahuan

Kami menyadari betapa besar tantangan yang dihadapi manajemen puncak saat ini. Sesungguhnya, perubahan di era pengetahuan terjadi begitu pesat dan tidak akan menunggu lebih lama lagi, sehingga perusahaan direkomendasikan untuk menambah kecepatan adaptasi bagi para jajarannya untuk segera melakukan action plan(s) guna mengadaptasi serta memanfaatkan teknologi yang sudah diinvestasikan oleh perusahaan; melakukan sosialisasi service excellence bagi front liners; membina program-program sosialisasi kepada masyarakat akan pentingnya fungsi investasi dan saving; bekerja sama dengan institusi pendidikan guna memetakan, mengevaluasi pengaruh perusahaan sebagai agen pembangunan daerah bagi pembangunan ekonomi daerah; serta melakukan pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui pemberian fasilitas kredit. Dengan demikian, tindakan-tindakan ini akan memacu jajaran level atas untuk memberikan performa strategis dan manajerial guna memberikan hasil jangka pendek yang lebih baik.

Akhir kata, kami menyadari bahwa masih jauh perjalanan yang harus kami tempuh, dan masih banyak daya upaya yang harus kami curahkan dalam rangka membawa atau bahkan menghadirkan derasnya gelombang perubahan “secara fisik” di tengah-tengah jajaran perusahaan. Meskipun tingginya gelombang serta derasnya arus yang menerpa perusahaan belum lagi terlihat, kami meyakini bahwa, di dalam hati masing-masing peserta Change Management Training, debur gelombang sayup-sayup sudah terdengar. Semoga!





Alex Denni
Human Capital & Execution Expert
Head of Consulting Group-Associate Partner Dunamis

Definisikan ”Aset Manusia” di Perusahaan

Akhir-akhir ini kian banyak perusahaan yang mengganti label fungsi human resource management-nya dengan human capital management. Namun, sayangnya, belum banyak yang memahami secara utuh perubahan paradigma di balik penggantian label tersebut, sehingga urusannya berhenti pada perubahan kartu nama semata. Padahal, dengan berubahnya paradigma, cara-cara kita melakukan sesuatu juga akan berubah. Dan, hanya dengan cara-cara yang berbeda inilah kita boleh mengharapkan hasil yang juga berbeda dengan sebelumnya.


Pada waktu bicara tentang human resource, paradigma kita menempatkan manusia (human) sebagai resources. Kata ”resources” biasanya mengandung makna ”sesuatu” yang digunakan atau dikonsumsi dalam sebuah proses produksi. Biasanya resources menyusut jumlahnya karena dipakai dalam proses. Oleh karena itu, dalam pendekatan human resource management, penekanannya adalah kepada minimalisasi resources yang digunakan untuk menghasilkan sesuatu (output). Maka, tak heran kalau dalam laporan keuangan ditempatkan chart of account untuk segala sesuatu yang berkaitan dengan people sebagai “biaya” yang muncul di laporan rugi/laba.


Sementara itu, terminologi “ capital” pada human capital management menggiring paradigma kita pada kenyataan bahwa manusia adalah aset (sebagian pakar lebih senang menyebutnya “modal”). Tujuan dari semua perusahaan tentu meningkatkan nilai asetnya (atau modalnya) dan melaporkan perkembangannya dalam neraca perusahaan.


Bagaimana cara kita mendefinisikan aset manusia yang bersifat sangat intangible? Apakah dilihat dari berat badannya—jadi, kalau karyawannya gemuk-gemuk berarti perusahaan maju? Atau dari jumlah rambut putihnya—kalau perusahaan memiliki karyawan yang tua-tua (baca: senior), aset Anda lebih tinggi nilainya dibanding kompetitor yang karyawannya relatif muda-muda? Tentu tidak.


Hampir semua pakar bidang ini sependapat yang pantas disebut aset dari manusia yang bekerja di perusahaan adalah kompetensinya, baik yang bersifat skill (keterampilan), knowledge (pengetahuan), dan behavior (perilaku). Kompetensi di sini tentu saja yang relevan dengan kebutuhan organisasi untuk menghasilkan kinerja yang direncanakan. Artinya, pekerjaan rumah para praktisi human capital adalah mendefinisikan kompetensi yang relevan ini, mengklasifikasikannya seperti halnya mendefinisikan chart of account dalam proses akuntansi.


Spencer & Spencer menyebut kompetensi yang bersifat skill dan knowledge sebagai threshold competency, yaitu kompetensi minimum yang dibutuhkan seseorang untuk bisa menjalankan tugas dan tanggung jawabnya secara efektif. Beberapa perusahaan menyebut threshold competency dengan istilah technical competency atau hard competency. Sementara itu, kompetensi yang sifatnya behavior, oleh Spencer disebut differentiating competency, yaitu kompetensi yang membedakan seorang pemangku jabatan yang kinerjanya superior dengan pemangku jabatan yang kinerjanya rata-rata. Istilah lain untuk kompetensi ini adalah nontechnical competency atau soft competency.


Kalau kita perhatikan kompetensi yang sifatnya skill dan knowledge relatif nilainya menetap, bahkan cenderung naik pada diri seseorang. Sebab, skill dan knowledge di sini adalah yang job related. Artinya, digunakan sehari-hari oleh yang bersangkutan dalam pekerjaannya. Biasanya skill dan knowledge yang digunakan nilainya akan bertambah, karena yang bersangkutan akan kian fasih menggunakannya. Lihat saja skill seorang anak dalam bersepeda, yang setiap hari makin tinggi kalau dia senang bermain sepeda. Skill hanya akan turun apabila tidak digunakan lagi atau terjadi physical damage, seperti stroke. Begitu pula dengan knowledge. Selama knowledge digunakan, nilainya akan bertambah. Knowledge hanya akan berkurang apabila orang tersebut mulai tidak menggunakannya lagi, atau terjadi brain damage atau gangguan mental lainnya.


Lain halnya dengan behavior atau perilaku. Kalau ada seorang karyawan suatu hari merasa malas datang ke kantor, pada hari itu perilakunya akan sangat terpengaruh. Kemalasan tadi bisa ditunjukkan dengan terlambat datang ke kantor, atau meski sudah datang sejak pagi, tetapi baca koran dulu, browsing internet dulu, chatting dulu, dan sebagainya. Bahkan tugas yang seharusnya selesai dalam waktu satu jam, bisa-bisa sampai sore belum juga tuntas. Ini bukan karena skill atau knowledge-nya berkurang, melainkan karena perilakunya yang sedang tidak ”positif”.

Mencermati konteks permasalahan ini, dapat disimpulkan bahwa aset berupa perilaku ternyata lebih rentan menyusut ketimbang skill dan knowledge. Maka, tidak heran kalau banyak perusahaan lebih memfokuskan perhatiannya kepada perilaku karyawan ketimbang skill atau knowledge-nya. Ini juga didukung oleh pemikiran bahwa kalau perilaku karyawan positif, maka proses peningkatan skill dan knowledge akan terjadi dengan sendirinya.


Ketiga karakter kompetensi ini—skill, knowledge, behavior—dalam human capital management dikodefikasi terlebih dahulu sebelum dievaluasi nilainya. Hasil dari proses kodefikasi ini biasanya disebut Competency Dictionary (Kamus Kompetensi), atau ada juga yang menyebutnya Competency Directory. Competency Directory biasanya menjelaskan apa yang dimaksud dengan kompetensi tertentu (definisi kompetensi) dan apa indikator dari dimilikinya kompetensi tersebut oleh seseorang. Jika diperlukan, indikator kompetensi ini dapat dikelompokkan dalam tingkatan-tingkatan yang disebut Competency Level. Setelah perusahaan memiliki Competency Directory, baru dilakukan competency valuation, yakni proses menentukan nilai relatif dari masing-masing kompetensi di perusahaan yang bersangkutan. Hasil akhir dari proses competency valuation adalah Point Value Matrix untuk setiap kompetensi dan level-nya. Komentar yang sering terdengar sehubungan dengan hal ini adalah, “Repot amat ya fungsi human capital, harus mengerjakan banyak hal untuk mendapatkan nilai dari setiap kompetensi yang dimiliki oleh suatu perusahaan.” Jawabannya barangkali harus dikembalikan ke paradigmanya. Kalau kita mau mendata jumlah aset fisik perusahaan, seperti mobil, komputer, sampai ATK, kita harus membuat daftarnya terlebih dahulu, mengapa terhadap aset paling penting bagi perusahaan—manusia—kita enggan melakukannya? Jangan-jangan ATK memang dianggap lebih penting daripada kompetensi manusia. Bagaimana dengan perusahaan Anda? Sudahkah perusahaan Anda mendefinisikan aset manusianya? Semoga.




Alex Denni
Human Capital & Execution Expert
Head of Consulting Group-Associate Partner Dunamis